Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Kholiyi

Guru: Antara Profesi dan Pengabdian

Pendidikan dan Literasi | Thursday, 09 Feb 2023, 01:31 WIB
Sumber gambar: Google

2019 adalah tahun bersejarah bagi saya yang benar-benar baru belajar menjadi seorang 'guru', profesi yang bagi saya paling keramat dalam strata pekerjaan. Cikeusik (Pandeglang) yang ditakdirkan untuk saya menjadi tempat awal mula belajar menjadi seorang guru. Saya masih ingat pertama kali survei lokasi penempatan tugas saya adalah pada bulan Ramadhan 2019 bersama ayah, ibu, dan adik bungsu. Konvoi dua motor, dibantu google map agar tidak 'nyasar' dan sampai ke tujuan.

Panjang perjalanan kala itu sangat terasa, ditambah Mama (sebutan kami di keluarga pada ayah kami) yang membonceng Embu (sebutan kami di keluarga pada ibu kami) tidak terlalu cepat mengendarai motor. Otomatis aku yang membonceng si bungsu harus menyesuaikan laju kendaraan. Kurang lebih kemi menempuh hampir 4 jam perjalanan dengan rute Rangkasbitung - Gunung Kencana - Banjarsari - Munjul - Cikeusik.

Tidak terasa, sekarang sudah tahun 2023. Sudah empat tahun saya belajar mengajar di Cikeusik. Tentunya banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan selama di Cikeusik. Bagi saya yang seorang sarjana non pendidikan, tantangan mendidik peserta didik sangat besar juga berat. Dari hal-hal yang paling dasar mengenai teori pedagogik, metodologi penbelajaran, psikologi pendidikan. Semuanya terasa seperti mata kuliah yang harus saya pelajari dari semester awal.

Maklum, saya yang seorang sarjana humaniora tak pernah sedikitpun mempelajari teori pendidikan ketika masih berstatus mahasiswa. Yang saya tahu tentunya tentang teori-teori sejarah, seperti Metodologi Penelitian Sejarah, Ilmu sosial dan Budaya Dasar, Historiografi, dan materi-materi yang termasuk ke dalam mata kuliah saya ketika dulu menjadi mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).

Tapi, memang kadang benar pribahasa 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'. Saya yang tak memiliki cita-cita dan minat menjadi seorang guru akhirnya malah menjadi guru juga sebagaimana ayah yang juga merupakan seorang pensiunan guru. Dan disadari atau tidak, nyatanya anak-anak ayah dan ibu hampir semuanya berprofesi sebagai guru.

Memang benar juga bahwa kita sebagai makhluk hanya sebatas bisa berencana dan berusaha, tetapi Tuhan memiliki preogritas sebagai penentu takdir dan ketetapan. Saya yang berikhtiar dalam peruntungan seleksi CPNS tahun 2018, dengan mengambil peluang formasi Guru Mata Pelajaran SKI di Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten, hanya sekali ikut seleksi, Tuhan takdirkan saya lolos, dan sekarang, sudah hampir empat tahun, saya menjadi seorang guru.

Guru, bagi saya merupakan profesi yang sangat mulia. Dalam setiap obrolan dan diskusi bersama kawan, saya terkadang mengatakan bahwa saya tidak bercita-cita menjadi guru, karena dalam prakteknya, bukan hanya transfer ilmu pengetahuan yang dilakukan seorang guru, akan tetapi memberikan pendidikan secara kompleks. Hal tersebut sebagaimana pengertiannya, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Dalam proses pembelajaran juga guru berperan sebagai Sumber Belajar, Fasilitator, Pengelola Pembelajaran; Demonstrator, Pembimbing, Motivator, dan Penilai. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Oleh karena peran yang kompleks ini, tak sembarangan orang bisa menjadi seorang guru. Bagi saya, hanya orang yang tergerak hatinya dan memiliki minat menjadi seorang guru yang mampu mengimplementasikan dengan kongkrit peran guru tersebut. Bagi saya juga, karakter ideal yang paling harus dijaga dari seorang guru adalah karakternya. Karekter seseorang guru yang layak digugu dan ditiru oleh peserta didik berarti karakter baik sebagaimana pengertian guru yang telah disebutkan sebelumnya.

Saya, dulu bahkan hingga sampai sekarang mencoba mawas diri dengan mengkategorikan profesi guru tidak layak menjadi cita-cita saya yang masih serba kurang dan bahkan tak paham tentang apa, bagaimana, dan seperti apa guru.

Saya teringat kembali semboyan pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara yang merupakan Bapak Pendidikan Republik Indonesia tentang tiga asas pendidikan yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut wuri Handayani.

Dalam dunia pendidikan tiga semboyan itu dapat dipahami bahwa guru sebagai pendidik yaitu:

Ing Ngarso Tuludo, berarti didepan memberi teladan; bahwa di depan seorang guru harus dapat memberikan contoh atau teladan yang baik bagi kepada siswa-siswinya.

Ing Madya Mangun Karsa, berarti di tengah-tengah menguatkan/membangun rasa; bahwa guru adalah pendidik yang berada di tengah siswanya mampu memberikan dorongan atau semangat untuk berkarya.

Tut Wuri Handayani, berarti di belakang memberikan dorongan; bahwa di belakang guru adalah pendidik yang mampu mengarahkan atau menopang siswa-siswinya pada jalan yang benar dan baik.

Guru dan Pengabdian

Dahulu bahkan sampai sekarang profesi guru bukanlah profesi idaman, dan hanya menjadi pilihan alternatif. Beban kerja yang besar, dan gaji yang tidak seberapa adalah hal yang menjadi pertimbangan utama seseorang untuk memilih atau tidak memilih menjadi seorang guru. Terutama jika hanya menjadi guru honorer yang mendapatkan gaji jauh dari UMR. Bahkan bisa jadi terkadang gaji seorang guru honorer dibayarkan dengan cara dirapel per dua atau tiga bulan.

Berbicara soal gaji guru honorer tentunya masih menjadi hal sensitif dan patut menjadi bahan diskursus terkaitu kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Tentu upah atau gaji seorang guru honorer berbeda nasibnya dengan guru yang telah diangkat menjadi PNS atau PPPK yang mendapatkan pengahasilan atau gaji yang lebih layak.

Akan tetapi, terlepas dari pembahasan gaji guru honorer atau guru PNS dan PPPK, pada hakikatnya guru merupakan komponen terpenting dalam pembangunan bangsa. Besar kecilnya gaji yang diterima seorang guru tak akan pernah melunturkan peranannya sebagai 'patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa' dalam membangun pendidikan bangsa.

Istilah 'pahlawan tanpa tanda jasa' ini bagi saya tidaklah berlebihan mengingat peranan jasa guru hakikatnya tidak akan pernah bisa dibanyar dengan nominal sebesar apapun itu. Apalagi jika kita melihat gigihnya perjuangan para guru di pelosok-pelosok daerah (termasuk juga guru PNS atau PPPK yang ditempatkan/ditugaskan di daerah pelosok).

Tidak sedikit kita mendengarkan kisah perjuangan guru di daerah-daerah pelosok yang dengan sabar dan ikhlas membaktikan diri tanpa berharap imbalan balas jasa demi mendidik tunas-tunas bangsa. Bahkan meski uarus menempuh jalan puluhan kilo meter, dengan kondisi jalur yang jelek dan ekstrem sekalipun mereka tetap 'istiqomah' menunaikan pengabdian mereka.

Meskupun hanya mengajar murid-murid yang masih mampu dihitung oleh jari, para pejuang pendidikan itu tak patah semangat. Walau cuaca hujan sekalipun, mereka tetap berangkat, karena mereka sadar diri bahwa ada anak-anak tunas harapan bangsa yang tengah menantikan kehadiran seorang guru yang sangat berantusias menerima pelajaran.

Iwan Fals, seorang musisis legendaris Indonesia bahkan memberikan julukan 'Guru Oemar Bakrie' kepada profesi guru dalam petikan lirik awal lagu berjudul Umar Bakri yang dinyanyikan Iwan Fals akrab di telinga, khususnya generasi 90-an. Umar Bakri menjadi satu lagu di album Sarjana Muda yang dirilis pada September 1981. Dalam lagu Umar Bakri ini, Iwan Fals menceritakan sosok seorang guru sederhana yang mengajar tanpa pamrih yang jujur dan berbakti.

'Guru Oemar Bakrie' dalam karya lagu Iwan Fals ini berkisah tentang sosok guru dengan kesederhanaannya dan pengabdiannya yang telah mengajar selama 40 tahun merupakan bentuk loyalitasnya pada negeri. Dalam lirik lagu tersebut pun dijelaskan bahwa atas jasanya sebagai guru, Oemar Bakri berhasil menetaskan berbagai macam orang berguna dari profesor hingga dokter.

Bahkan meskipun 'gaji dikebiri' tidak menahan semangat Oemar Bakri. Ia tetap setia mengayuh sepeda kumbangnya untuk memberi pelajaran dan ilmu kepada para muridnya. Sosok 'Guru Oemar Bakri' yang ditulis pada lagu Iwan Fals merupakan representasi dari guru yang teladan juga tanpa pamrih dan setia dengan profesinya sebagi guru.

Kalau bukan karena prinsip 'pengabdian' pada bangsa bahkan juga agama, niscaya dari dahulu tak akan pernah ada yang termotivasi menjadi seorang guru. Baik itu guru ngaji yang mengajarkan kita dulu dari terbata-bata membaca IQRA' hingga lancar membaca Kitab Suci Al-Qur'an, ataupun guru yang di sekolah mengajarkan kita dengan sabar mengeja huruf alfabet hingga mampu membaca berbagai buku dan tulisan, dan semua guru yang telah memberikan kita berbagai pelajaran dan pengetahuan.

Bahkan, KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan sebutan Gus Dur, presiden keempat Republik Indonesia ketika diangkat menjadi presiden, secara spesial mengapresiasi profesi guru PNS yang tadinya bergaji jauh dari kata layak dengan cara menaikkan hingga 270,4 persen.

Kenaikan gaji PNS guru di era Gus Dur ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Tentunya bukan tanpa alasan Gus Dur menaikkan gaji para guru. Melainkan pasti karena jasa yang begitu besar dari seorang guru yang patut diberikan apresiasi yang layak demi kesejahteraan hidup mereka.

Profesi guru bagi saya berarti adalah pengabdian seumur hidup. Dedikasi seorang guru tak akan pernah terlampaui oleh profesi lain di dunia. Pernyataan ini bukan berarti pula menegasikan peran-peran penting dari profesi-profesi lainnya dalam pembangunan bangsa.

Secara khusus, bagi saya yang baru belajar menjadi seorang guru, ditakdirkan menjadi seorang guru merupakan sebuah tantangan sekaligus anugrah. Dikatakan tantangan karena selain baru belajar, saya juga harus menerima sekaligus mempelajari lingkungan baru dalam kehidupan saya. Tidak hanya terhadap peserta didik, akan tetapi juga terhadap rekan kerja sesama guru. Ditambah jarak tempat tugas yang lumayan jauh dari kampung halaman, dan menurut saya masih bisa dikategorikan daerah pelosok (karena lumayan jauh dari pusat kota).

Karakter masa depan bangsa Indonesia tergantung bagaimana guru-gurunya memberikan pendidikan dan pelajaran pada tunas-tunas penerus bangsa. Oleh karena itu, guru menurut saya adalah 'soko' negara dan bangsa - pakunya negara dan bangsa - yang sebagaimana sesuai fungsinya tidah hanya berperan menyampaikan materi palajaran, tapi juga sebagai seorang yang mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Profesi guru sampai kapanpun akan selalu menjadi profesi yang mulia. Dan juga pada akhirnya saya menyadari bahwa menjadi guru tak harus seideal pemikiran saya dahulu, karena semua orang yang berprofesi sebagai guru pastinya selalu memiliki kekurangan. Yang paling penting adalah niat yang terpatrikan di dalam sanubari bahwa menjadi guru berarti sama dengan mengabdikan diri kita untuk pembanguan bangsa dan negeri.

Terakhir, saya juga selalu berharap kita semua tak pernah menyebut 'mantan' pada guru-guru yang telah memberikan pendidikan dan pelajaran hidup pada kita. Dan semoga juga segala kebaikan dan pengabdian yang penuh keikhlasan dari para guru tak pernah dipandang sebelah mata oleh segenap pemangku kebijakan di negeri ini. Terutama terkait kesejahteraan mereka, agar semangat pengabdian para guru semakin meningkat, sehingga kelak mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berintegritas. []

Oleh : Ahmad Kholiyi (Guru di MTsN 6 Pandeglang, Aktivis Jaringan Gusdurian, Direktur LsIS Banten, Ketua Umum DAMAR)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image