Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Imron Samsuharto

NU dan Tantangan Global

Agama | Monday, 06 Feb 2023, 04:02 WIB

Organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) secara atraktif telah mengepakkan sayap melampaui batas teritorial. Sang pendiri organisasi hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, boleh jadi saat pendirian organisasi, tak membayangkan kalau NU kelak dikenal hingga wilayah internasional.

Namun, sejatinya visi ke depan yang mendunia sudah menjadi bagian pemikiran, ditandai simbol jagat raya pada lambang NU. Tapi yakinlah, ruh beliau yang tak pernah mati, turut tersenyum di alam keabadian melihat eksistensi NU sekarang ini.

NU berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, serta menjunjung peradaban Islam tanpa meninggalkan akhlaqul karimah berhaluan ahlussunah wal jamaah. Bahkan sebelum NU resmi berdiri, ketika masih berupa embrio, sumbangsih untuk dunia keislaman sudah ditunjukkan. Bagi nahdliyin sejati tentu pernah mendengar Komite Hejaz yang dipandegani KH Wahab Hasbullah.

Sekira 1924/1925 Raja Ibnu Saud, pemimpin Arab Saudi, hendak menerapkan madzhabiyah Wahabi di Mekah dan menafikan madzhab lainnya. Peninggalan historis Islam yang sering diziarahi umat, pun mau dimusnahkan. Semua itu dianggapnya bid'ah. Kaum modernis di Indonesia menyambut gembira. Namun, tidak demikian dengan kaum tradisionalis (pesantren). Kalangan pesantren menolak pembatasan madzhabiyah di Mekah dan tak setuju rencana penghancuran warisan peradaban Islam.

Komite Hejaz mendesak Raja Ibnu Saud agar membatalkan rencana itu. Akhirnya, Raja Ibnu Saud mengurungkan rencananya setelah didesak. Sedari itu kawasan Mekah bebas dari aturan satu madzhab. Umat bebas beribadah di Makkatul-mukarromah menurut madzhab yang dianutnya. Peninggalan bersejarah peradaban Islam pun berhasil diselamatkan.

Jalan Berliku NU

Setahun setelah peristiwa Komite Hejaz, lahirlah organisasi keagamaan bernama Nahdlatul Ulama (NU). KH Wahab Hasbullah masuk dalam deretan tokoh penggagas. Sedangkan posisi ketua dipercayakan kepada KH Hasyim Asy'ari dengan sebutan Rois Akbar. Organisasi yang berdiri pada 16 Rajab 1344 (31 Januari 1926) mendapat sambutan hangat dari kalangan pesantren di seantero nusantara.

NU sempat memasuki kancah politik praktis. Pada Pemilu 1955 NU menduduki 'the big four' (empat besar). Seiring berjalannya waktu, perbenturan persoalan sosial keagamaan dan politik justru merugikan tatanan NU. Pencampuradukan urusan keagamaan dan politik (praktis) menghambat tujuan organisasi itu sendiri. NU memiliki tujuan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan politik.

Maka, pada 1984 diputuskanlah NU tidak lagi berpolitik praktis, istilahnya khittah atau kembali seperti saat pendirian 1926. Kedudukan NU pasca-khittah kian berkibar, terlebih saat cucu KH Hasyim Asy'ari yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengetuai organisasi kaum sarungan itu.

NU semakin disegani di level internasional. Paham kebangsaan religius disertai wawasan internasional yang merupakan napas NU, menjadikan pihak lain merasa nyaman menjalin dialog dan silaturrahim. NU kerap menjadi penyeimbang atau jalan tengah ketika terjadi ketegangan antara satu kelompok atau komunitas dengan komunitas lainnya. Pihak yang menghadapi persoalan pelik seperti perpolitikan atau sosial-kemasyarakatan pun mengajak NU untuk berdiskusi mencari solusi yang bijak.

Di forum internasional, NU tak tinggal diam. Persoalan penyelesaian konflik di Palestina, Afghanistan, Libanon, Filipina, Myanmar, dan sebagainya tak lepas dari peran sumbangsih NU yang turut mengurai benang ruwet konflik tersebut. Pada forum dialogis Asia-Afrika sejak tahun 1960-an, NU aktif mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme. Bahkan terbaru pada Forum Agama G-20 atau 'Religion of Twenty' (R-20) November 2022, NU turut andil dan mendorong agar agama dan pemimpin agama lebih proaktif membantu menyelesaikan berbagai persoalan dunia.

Tantangan Kekinian

NU makin disegani sejak kepemimpinan Gus Dur. Sosok yang menjadi Presiden ke-4 RI, itu senantiasa mengajarkan kehidupan inklusif. Bergaul secara humanis dengan semua pihak, dari tokoh kaliber dunia hingga rakyat marginal yang bukan tokoh apa pun. NU kian diperhitungkan sebagai kawan, mitra dialog, tempat 'sharing', bahkan sandaran solusi berbagai persoalan.

NU kini berusia satu abad (versi penanggalan Hijriyah). Di bawah kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), NU dihadapkan pada tantangan. Sebutlah paham ekstrem di segenap belahan dunia tentang pembolehan penghancuran fasilitas publik berbau non-Islam. Kemudian polarisasi di tengah publik yang diwarnai perbedaan pandangan politik. Juga persoalan rumit lainnya yang muncul di tengah masyarakat pada era digital ini.

Ada sisi keuntungan kepengurusan NU yang dipimpin Gus Yahya (2021-2026). Ia dikenal dekat dengan berbagai kalangan, termasuk insan media nasional dan media asing. Boleh dikata Gus Yahya seperti Gus Dur yang mampu bergandengan dengan banyak kalangan. Gus Yahya mengajak bekerja sama dalam satu barisan satu langkah, satu tujuan yaitu masa depan yang lebih baik bagi NU, Indonesia, Islam, dan bagi peradaban dunia.

Problematika yang dihadapi dengan segala kompleksitasnya, dari tingkat terbawah hingga ke level nasional bahkan internasional, disikapi NU dengan tenang, arif, cermat, berimbang (adil), dan sabar.

Dalam buku "Fatwa dan Canda Gus Dur" tulisan KH Maman Imanulhaq, Gus Dur berpesan: "Kita harus bersabar dalam menghadapi kehidupan ini. Karena hanya orang yang memiliki kesetiaan untuk menegakkan kebenaran dan melakukannya dengan penuh kesabaran, dialah yang akan mendapatkan kebahagiaan." (2010:14)

*Penulis adalah simpatisan NU, lulusan FS (kini FIB) Universitas Diponegoro Semarang

#lombanulisretizen #lombavideorepublika #satuabadnu #akudannu

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image