Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sholahuddin Muhsin

Generasi Muda NU, Era Post Truth dan Tantangan 1 Abad NU

Agama | Sunday, 29 Jan 2023, 11:34 WIB

Pendahuluan

Kehidupan sosial masyarakat saat ini dihadapkan pada fenomena post-truth, yaitu sebuah kondisi di mana masyarakat mengabaikan fakta-fakta dan etika-etika dalam berpendapat dan cenderung menyepakati hal-hal yang lebih dekat dengan keyakinan pribadinya. Gobber (2019, hal. 287) mengartikan post-truth sebagai keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk debat politik atau opini publik dibandingkan dengan menarik emosi dan keyakinan personal.

Post-truth merupakan kondisi/era ketika "fakta-fakta alternatif" menggantikan fakta aktual, dan perasaan memiliki bobot lebih tinggi dari bukti-bukti. Masyarakat post-truth cenderung mengabaikan metode berpikir dialektis-dialogis dan sistematis-filosofis, dan seakan lebih tertarik pada berita atau informasi yang menarik emosinya atau konten informasi tersebut dekat secara personal dengan mereka, tidak peduli apakah informasi tersebut merupakan informasi hoax (palsu) dan merupakan fitnah.

Kondisi post-truth cenderung menggiring kebenaran ke arah selera yang diinginkan kelompok masyarakat tertentu meskipun pada dasarnya hal ini tak mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya. Pada konteks dunia politik, Post truth diperparah lagi dengan munculnya politik identitas, hal ini dapat dilihat dalam proses pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2018 lalu. Penggunaan symbol-simbol agama dan ayat-ayat suci untuk kepentingan mendukung calon tertentu dalam pemilukada. Sehingga Basuki Cahaya Purnama atau yang kerap disapa dengan Ahok mendapatkan ganjaran 2 tahun penjara karena dianggap melecehkan ayat suci Al-qurán.

Paper ini akan memberikan pengantar untuk diskusi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh generasi muda milenial (IPNU IPPNU) dalam menghadapi post truth dan juga gempa tektonik imformasi yang begitu membuncah pada akhir-akhir ini. Terutama

Pentingnya Literasi

Umumnya para pelajar memahami literasi digital hanya sebagai kecakapan dalam memainkan internet dan media digital yang lainnya. Literasi digitas bukanlah mengenai memainkan internet dan media digital, melainkan juga bagaimana seorang user (pengguna) mampu memainkan internet dan perangkat digital dengan bertanggungjawab.

Literasi digital menurut Paul Gilster adalah the ability to understand and use information in multiple formats from a wide variety when it is presented via computer. (literasi adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam format yang beragam dalam berbagai macam varietas ketika di presentasikan melalui media computer.

Sebagai seorang pemuda yang tergabung dalam wadah IPNU dan IPPNU kita perlu untuk mewarnai perkembangan teknologi informasi dan digital dewasa ini dan juga santri kita dapat menggunakan berbagai macam platform media online dewasa ini. Para siswa dan pemuda dapat menggunakan Youtube, Podcast, Instagram, Fb, Twitter dan lain sebagainya sebagai media aktualisasi dan medan jihad fi sabilil ilmi.

Ketika mengakses dunia maya, para pemuda milenial (IPNU-IPPNU) wajib mengetahui bagaimana ideologi atau pemahaman website-website yang ada dunia maya. Supaya terhindar dari paparan virus radikalisme dan juga terorisma.[1] Beberapa website yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaáh An-nahdliyyah adalah:

 

  1. Nu Online
  2. DutaIslam.id
  3. Iqra.id
  4. Islami.co
  5. Alif.id
  6. Arrahim.id
  7. Harakatuna.com dll.

Tips untuk Berliterasi di Dunia Maya

1. Saring sebelum sharing

Sebelum membagi berita kita diharuskan untuk menyaring berita tersebut. Apakah berita tersebut benar? Sesuai dengan fakta atau tidak. Langkah ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Allah SWT dalam Al-qur’an yang berbunyi:

يأيها الذين أمنوا ان جاءكم فاسق بنبا فتبينوا

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman ketika datang kepada kalian semua orang fasiq dengan membawa sebuah berita ata kabar, maka memintalah penjelasan kepada mereka.

Informasi yang datang kepada kita atau kita temukan di dunia maya tidak kemudian itu benar dan faktual. Oleh karena itu perlu saring atau filter dulu, sebelum informasi atau khabar dibagikan kepada yang lain. Tradisi ini menjadi penting supaya kita tidak menjadi bagian dari mata rantai hoax atau bohong.

2. Memupuk nalar kritis

Memupuk nalar kritis menjadi hal yang urgent didalam suasana membuncahnya informasi seperti sekarang ini. Nalar kritis dalam perspektif filsafat adalah nalar yang dibangun atas dasar the hermeneutic of supicious (hermenetika kecurigaan). Hemeneutika kecurigaan senantiasa melakukan pertanyaan terhadap apapun yang datang kepada dia. Dalam filsafat kita mengenal Hans George Gadamer, Karl Apel Otto, Jurgen Habermas. Dari Habermas kita mengenal teori hubungan antara ilmu pengetahuan dengan kepentingan manusia.

Dalam pembelajaran dikelas guru bisa memulai memupuk nalar kritis siswa dan siswi dengan cara mengajak diskusi dan dilatih untuk menganalisa dan mencipta. Makna cerdas di era kekinian adalah mampu bernalar tingkat tinggi atau dalam taksonomi bloom Anderson dan Krathwohl masuk di C4 (menganalisa), C5 (mengevaluasi), C6 (mencipta).

Ada 4 manfaat jika seseorang memiliki kemampuan nalar kritis, yaitu:

Mudah menyelesaikan masalah: Kemampuan bernalar atau berpikir kritis dapat membuat seseorang lebih teliti dalam menemukan kesalahan yang mungkin terlihat dalam lembar pekerjaan. Tidak hanya menemukan kesalahan atau permasalahan saja, tetapi kemampuan ini juga dapat membantu seseorang untuk mencari solusi terbaik bagi permasalahan yang ada. Dengan kata lain, bernalar kritis dapat meningkatkan kemampuan problem solving seseorang.

Melatih kemampuan diri sendiri: Bernalar kritis atau berpikir kritis dapat membuat seseorang mengetahui kemampuan diri sendiri. Kemampuan ini juga dapat membantu seseorang untuk menemukan informasi baru yang sebelumnya tidak diketahui ketika menganalisis sebuah permasalahan secara kritis. Dengan demikian, bernalar atau berpikir kritis akan membuat seseorang lebih memahami kemampuan dirinya sendiri, mengetahui hal-hal yang tidak diketahui, dan mencari cara untuk memperbaikinya.

Memiliki sudut pandang yang lebih luas: Bernalar kritis atau berpikir kritis membuat seseorang memiliki sudut pandang yang luas. Dalam kata lain, kemampuan ini dapat menjadikan Anda sebagai pribadi yang open minded. Seseorang akan tetap objektif dan tidak bias dengan hal-hal yang bersifat subjektif ketika menerima informasi baru atau mencari solusi atas masalah yang ada. Oleh karena itu, seseorang lebih mudah menerima sudut pandang baru dalam menerima informasi atau argumen yang disampaikan oleh orang lain.

Pelatihan Jurnalistik di MA NU Al-mustaqim, untuk menumbuhkan nalar kritis di kalangan pelajar yang tergabung dalam PK IPNU IPPNU MA NU Al-mustaqim

[1] Radikalisme telah menjadi penyakit akut bagi rakyat Indonesia. Jelang pertengahan 2019, direktur riset Setara Institut mengungkapkan hasil kajian lembaganya, sepuluh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham radikalisme. Sepuluh PTN tersebut adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (ITB), UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Mataram (Unram). Masih menurut Setara, paham radikalisme masuk 10 PTN diatas melalui corak pemahaman yang eksklusif dan puritan. Dengan corak pemahaman keagamaan yang monolitik. Bahwa keselamatan hanya bisa diraih melalui jalan mereka, adapun yang lain adalah keliru dan sesat. Pemahaman keagamaan seperti ini bisa hadir tidak hanya di level perguruan tinggi, melainkan juga pendidikan tingkat menengah pertama dan atas.

Memiliki kemampuan komunikasi yang baik: Ketika seseorang memiliki kemampuan bernalar kritis atau berpikir kritis, secara tidak langsung ia juga akan memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Atau lebih tepatnya yaitu kemampuan dalam menyampaikan gagasan atau ide secara sistematis dan informatif. Bernalar kritis dapat mendorong seseorang untuk mempelajari hal baru, memahami hal baru, dan menjelaskannya kepada orang lain secara mudah. Banyaknya manfaat yang didapat seseorang jika memiliki kemampuan bernalar kritis atau berpikir kritis tentu semakin meyakinkan kita untuk mengembangkan kemampuan ini, dan sebaiknya kemampuan ini mulai diajarkan sejak dini, yaitu saat di bangku sekolah. Guru sebagai motor pendidikan sebaiknya mulai melatih kemampuan nalar kritis siswa agar mereka dapat menggapai masa depan yang lebih cerah. Wallahu A’lam Bi Ashowaab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image