Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Evy Ariska Novelia

MERGER, SECERCAH HARAPAN BANGKITNYA BANK SYARIAH DI INDONESIA

Lomba | Tuesday, 30 Nov 2021, 14:51 WIB

Mendengar kata Syariah, yang terbersit di benak kita adalah Islam dan ekonomi. Ya, Syariah tak bisa dilepaskan dengan negara Indonesia yang menduduki tangga teratas jumlah muslim terbesar di dunia, jauh di atas Arab Saudi yang dikenal sebagai negeri asal agama Islam yang berada di posisi 15. Dengan jumlah sekitar 231 juta jiwa merupakan muslim dan menyumbang 12% komposisi umat islam di seluruh dunia. Tentu hal ini menjadi pasar yang sangat strategis bagi pelaku ekonomi syariah untuk ‘menjual’ komoditinya di Indonesia.

Begitu juga dengan Bank Syariah yang bergerak di sektor jasa keuangan yang berbasiskan pada aturan Islam. Bank Syariah di Indonesia seyogyanya bisa menjadi raja di negara sendiri. Namun, pangsa pasar bank Syariah hanya menguasai kurang lebih 4-6% dari seluruh total nasabah perbankan di Indonesia. Padahal, jumlah muslim di Indonesia berada di angka 86,7% dari total populasi penduduk. Paradoks ini nyata terjadi dan tentunya menjadi ‘warning’ bagi pemerintah bahwa pengembangan bank Syariah perlu difokuskan kembali untuk mengoptimalkan impact yang lebih besar.

Berdirinya bank Syariah di Indonesia secara resmi bermula sejak tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dibawah pemerintah mempunyai inisiatif untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia. Prinsip keuangan Syariah yang sebagai prinsip utama dalam tata Kelola Bank Syariah lebih menekankan pada kepentingan 2 pihak(bank dan nasabah) dengan menerapkan system bagi hasil (non-bunga/riba) dan pembiayaan bagi sektor industry yang tidak dilarang dalam agama (halal). Rangkaian diskusi dan dilakukan oleh MUI melahirkan pendirian Bank Syariah pertama di Indonesia yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 November 1991. Bank Muamalat mulai aktif beroperasi pada tahun 1992 berlandaskan pada UU no.7 tahun 1992 yang kemudian disempurnakan dengan UU no.10 tahun 1998. Dalam UU ini dinyatakan secara tegas bahwa terdapat dual banking system di tanah air, yaitu bank konvensional dan bank Syariah.

Sejak adanya aturan tentang pengakuan bank Syariah, maka bank Syariah kian menjamur di Indonesia. Jumlah Bank Umum Syariah (BUS) dalam kurun waktu 2009-2010 meningkat dari hanya 5 BUS menjadi 11 BUS. Bank Syariah semakin menunjukkan eksistesinya sebagai salah satu system perbankan yang dapat survive di tengah gempuran krisis ekonomi. Bahkan jumlahnya unit usaha Syariah semakin meningkat. Pada pertengahan tahun 2015, tercatat bank umum Syariah di Indonesia sebanyak 15 BUS, 22 UUS yang melekat pada Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS. Aset yang dimiliki sebesar kurang lebihRp 273,49 triliun deegan penguasaan pasar sebesar 4,61%.

Untuk semakin menajamkan peran Bank Syariah di Indonesia, maka pemerintah mengembangkan strategi yang tertuang dalam roadmap perbankan Syariah Indonesia 2020-2025. Visi yang dibawa oleh roadmap ini adalah mewujudkan perbankan Syariah yang resilient, berdaya saing tinggi, dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dan pembangunan sosial.

Sebagai implementasi roadmap perbankan Syariah, pada tahun 2021 pemerintah melakukan merger 3 bank Syariah yaitu BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri ke dalam 1 bank merger. Bank merger inilah yang digadang menjadi bank Syariah terbesar di Indonesia dan hadir dengan brand baru yaitu PT. Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk. Ketiga bank tersebut akan memberikan warna tersendiri dalam tubuh BSI dengan keunggulannya masing-masing. Bank Syariah Mandiri unggul dalam sistem kerja dan profesionalitas, BNI Syariah unggul dalam kemampuan inovasi layanan perbankan, serta BRI Syariah yang pakar dalam mengenal kondisi nasabah di tingkat lokal dan regional. Merger diyakini akan memberikan secercah harapan baru bagi bangkitnya Bank Syariah di Indonesia.

Setelah dilakukan merger, BSI menduduki peringkat ke-7 bank terbesar di Indonesia dari sisi kapitalisasi aset. Aset BSI setelah dilakukan merger tercatat sebesar Rp 245,7 triliun dan memiliki 1.200 cabang di seluruh Indonesia. Dengan nilai aset yang besar, pelayanan yang lebih terpusat dan terintegrasi serta jangkauan yang luas, maka diharapkan minat dan kepercayaan nasabah terhadap bank Syariah semakin meningkat. Dengan potensi besar yang dimiliki BSI pasca merger, Menteri BUMN berani menargetkan di tahun 2025 BSI akan menduduki top ten bank Syariah dunia dari sisi market share.

Beberapa riset menunjukkan bahwa kondisi BSI pasca merger mampu meningkatkan market share sebesar 3,3%. Peningkatan market share yang terbilang rendah memberikan indikasi bahwa merger tidak serta merta menjadikan BSI menjadi bank primadona yang dipilih nasabah. Potensi pasar yang besar harus diimbangi dengan kemampuan BSI untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan produk syariah. Tantangan yang dihadapi oleh BSI adalah adanya realita bahwa masyarakat lebih memilih bank konvensional dibandingkan bank Syariah. Bank konvensional menjanjikan kemudahan bertransaksi menggunakan digitalisasi perbankan. Kondisi literasi ekonomi masyarakat yang rendah (8,9%) turut menyumbang lambatnya kenaikan market share. BSI perlu ditopang oleh sumber daya manusia yang kompeten dalam ekonomi Syariah untuk mengatasi tantangan tersebut.

Strategi merger merupakan langkah awal yang tepat dilakukan pemerintah untuk menajamkan peran Bank Syariah. Muara dari peningkatan perekonomian adalah kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tentu kesejahteraan ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, namun harus didukung oleh elemen lain secara bersama-sama. Sebagaimana konsep welfare mix yang dikemukakan oleh Gough, bahwa kesejahteraan dalam suatu negara mengacu pada interaksi antara negara, swasta, rumah tangga, serta komunitas. Sektor rumah tangga dan komunitas juga harus turut andil dalam memajukan ekonomi Syariah dengan menggunakan produk bank Syariah. Dengan demikian, harapan untuk mewujudkan Indonesia sebagai kiblat negara perekonomian Syariah di dunia akan segera terwujud.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image