Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SAIFUL ANWAR

DI ATAS BECAK TUA

Sastra | Saturday, 16 Oct 2021, 00:31 WIB
Sumber: akucintanusantaraku.blogspot.com

Bagi sebagian orang tidur adalah cara menghilangkan lapar.

Matahari menyengat Kota Semarang tanpa ampun, udara panas mengepung setiap sudut kota. Di pinggir jalan seorang tukang becak tua sedang tidur di atas becak tuanya. Sejak kemarin ia belum dapat penumpang satu pun. Itu tak mengejutkanya. Perkembangan zaman membuat becak tak lagi diminati. Orang-orang lebih suka menggunakan jasa ojek online dibanding becak. Selain dianggap lebih modern, ojek online juga dianggap lebih murah, lebih cepat, dan lebih aman. Takdir membawa profesi tukang becak ke kondisi yang tak menentu.

Matahari menyengat tanpa henti dan tukang becak tua itu masih tegar melawan lapar. Andai punya uang si tua itu pasti sudah nongkrong di angkringan dekat pintu banjir kanal barat, menyantap nasi kucing, gorengan, dan mengisap rokok.

Siang itu si tua tukang becak sedang tidur di atas becak tuanya ketika tiba-tiba suara seorang laki-laki membangunkannya, “Pak, pak.” Laki-laki itu berambut cepak, berkumis tipis dan memakai pakaian necis.

“Eh, iya Mas” jawab si tua tukang becak sambil mengucek-ngucek mata.

“Antar saya ke Pasar Johar. Bisa?”

“Bisa, Pak. Bisa."

“Tapi keliling Kota Lama dulu.”

“Iya, Pak. Bisa bisa.”

“Berapa ongkos?”

“Limapuluh ribu.”

“Lah, kok mahal? Tigapuluh ribu, bagaimana?”

Tawaran laki-laki itu sebenarnya terlalu murah, namun mengingat perut belum terisi sedari kemarin, si tua terpaksa menerima.

“Ya sudah, mari silakan,” ucap si tua sambil mengelap kursi becak bagian depan.

“Baik, sebentar,” laki-laki itu mennghampiri seorang perempuan yang berdiri di seberang jalan. Si tua memandang perempuan itu, cantik, berambut hitam lurus, dan nampak lebih muda dibanding si laki-laki. Wajah dan bentuk tubuhnya mengingatkannya pada sosok Nella Kharisma. “Wong lanang bejo,” ucap si tua dalam hati.

Si perempuan naik terlebih dahulu, kemudian si laki-laki. “Hati-hati ya, Pak, dia sedang hamil tiga bulan” pinta laki-laki itu pada si tua.

“Oke. Sudah siap? tanya si tua.

“Sudah, Pak. Ayo” Si laki-laki menjawab tanpa basa-basi.

Hati si tua tukang becak berbunga-bunga sebab ini adalah tarikan pertamanya sejak dua hari lalu. Dengan semangat si tua tukang becak mulai mengayuh becak tuanya.

Suasana di atas becak hening. Laki-laki dan perempuan itu tak saling bicara. Melihat situasi itu si tua pun ikut diam.

“Bagaimana, Sayang? Kamu suka?” tiba-tiba si laki-laki bersuara, berusaha mencairkan suasana. Namun si perempuan tetap diam seakan tak mendengar apa-apa.

Becak melewati Jembatan Berok, berbelok ke kiri memasuki kawasan Kota Lama.

Si laki-laki tak menyerah. Ia kemudian tentang kesuksesannya dalam pekerjaan. Target yang selalu terpenuhi, bonus yang selalu diterima tiap akhir bulan, dan lain sebagainya. Ia bercerita terus, nyaris tanpa jeda. Tiba-tiba “cukup, Mas”, si perempuan berketus. Suasana tegang segera menyergap becak tua yang sedang berjalan itu. si tua tukang becak tidak peduli, ia terus saja mengayuh.

“Kamu kenapa, Sayang? Jangan cemberut begitu ah, nanti cantikmu hilang lho,” Sang laki-laki menyodorkan pertanyaan dan pujian sambil mengusap pipi si perempuan. Melihat itu si tua tukang merasa canggung.

Becak sampai di depan Stasiun Tawang. Si tua becak mulai kelelahan, tubuh rentanya mengeluarkan keringat tanpa henti, keringat itu membasahi bajunya dan menetes di sepanjang jalan. Di dalam stasiun melodi Gambang Semarang mengalun menjangkau sejauh yang ia bisa.

“Kamu tahu kan aku sedang hamil?” si perempuan berkata dengan nada protes.

“Iya Sayang.”

“Terus kenapa kamu jarang menemui aku, Mas?”

“Tidak Sayangku,” si laki-laki mencoba memberi pengertian.

“Sehari hari saja. Masa ngga bisa? ” si perempuan terus saja memprotes.

“Sabar ya Sayangku.”

“Tapi, Mas....” Si perempuan belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika tiba-tiba si laki-laki memeluknya. “Sudah, kamu percaya saja sama Mas. Everything will be ok,” ucap laki-laki itu. Pelukan itu ternyata berhasil meredam emosi si perempuan, membuat rotesnya tak muncul lagi.

Jalanan ramai. Mobil, bus, dan sepeda motor saling berebut ruang, berusaha menyingkirkan semua yang menghadang dengan klakson yang suaranya seperti gerombolan bebek kelaparan.

“Jangan ngambek lagi ya. Mas sayang kamu,” ucap si laki-laki sambil mengelus-elus kepala si perempuan.

Becak sampai di dekat Taman Srigunting. Di tempat ini suara si laki-laki dan perempuan hampir tak terdengar oleh si tua tukang becak. Suara mereka hilang diringkus bunyi klakson mobil dan sepeda motor yang melintas. Si tua tukang becak tak bisa menangkap pembicaraan mereka dengan jelas tetapi ia melihat ada perubahan dalam diri si perempuan. Si perempuan jadi ceria, cerewet, dan selalu tersenyum.

Kini si laki-laki dan perempuan itu mencakapkan banyak hal. Suara mereka seperti hendak menyaingi deru kendaraan yang lalu-lalang.

Becak sampai di depan Kantor Pos, beberapa belas meter lagi sampai di Pasar Johar. Bagai dua burung yang beradu kicau, percakapan dua penumpang itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan selesai.

“Mas, kalau anak kita lahir aku mau menamainya Gita”, ujar si perempuan.

Si laki-laki yang pura-pura bingung berkata, “Hah? Gita? Apa bagusnya nama itu?”

“Ih, kamu tuh ya! Bagus tahu.”

“Em...Bagaimana kalau Sekar Ayu? Sekar berarti Bunga dan Ayu berarti indah. Sekar Ayu berati bunga yang indah.”

“Lebih bagus Gita.”

“Ya sudah kita gabung saja: Gita Sekar Ayu. Bagaimana?”

“Wah bagus. Mas!” jawab Sang perempuan sambil menyenderkan kepala di pundak si laki-laki.

Kemesraan dua orang itu mengingatkan Pak Tua Becak pada masa awal pernikahannya dulu. Bukan karena ia dan istri memiliki kemesraan serupa tetapi justru karena ia tak pernah bersemesraan dengan istrinya.

Becak sudah sampai di Pasar Johar. Riuh pedagang dan pembeli menyambut kedatangan ketiga orang itu. si tua tukang becak menghentikan laju becaknya di depan sebuah toko pakaian.

“Kita sudah sampai, Mas dan Mbak boleh turun,” ucap si tua tukang becak.

Sesaat setelah keduanya turun tiba-tiba gawai si laki-laki berdering nyaring. Sebuah panggilan masuk. Aneh, panggilan itu membuat raut wajah si laki-laki berubah. Dengan gugup si laki-laki berkata “Sebentar ya, Sayang. Mas angkat panggilan ini dulu.”

Laki-laki itu mengambil jarak agak jauh lalu mengangkat panggilan. Beberapa saat kemudian laki-laki itu kembali dengan wajah panik dan keringat bercucuran.

“Kita harus bergegas!”

“Lho, ada apa, Mas?”

“Istriku menelfon! Aku lupa bahwa hari ini aku harus mengantarnya ke rumah sakit. Dua jam lagi aku harus sampai rumah! Ayo cepat!”

Sang laki-laki meraih tangan si perempuan dan mereka pun cepat-cepat masuk pasar, meninggalkan si tua tukang becak yang belum sempat mereka beri upah.

Semarang, 11 Oktober 2020-15 Oktober 2021

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image