Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karimah Bachmid

Akankah Semuanya Kembali Normal Setelah Pandemi?

Lomba | Tuesday, 21 Sep 2021, 23:07 WIB

Pandemi telah berlangsung nyaris dua tahun lamanya. Kita telah diserang dari sisi kesehatan, keuangan, sosial, politik, tapi yang paling kuat adalah secara psikologis. Kita tidak bisa berhenti menonton media entah dari televisi atau dari HP dan semua tontonan itu meresahkan kita. Angka-angka kematian yang tampak di sana selalu mengganggu kita dan menjadi patokan untuk setiap tindakan.

Saat ini yang menjadi musuh kita sesungguhnya adalah derasnya arus komunikasi. Kita bisa melihat bagaimana media memiliki dampak besar pada hidup kita. Semua orang menyebut bahwa covid adalah wabah mengerikan, tapi pernah ada wabah yang lebih mengerikan sebelum itu. Kita bisa sebut wabah pes atau wabah abad ke-14 di eropa. Kecepatan penyebaran wabah itu jauh lebih cepat dibanding covid dan tubuh yang jatuh seperti berada di dalam medan perang. Apa psikologis kita lebih lemah dibanding orang-orang terdahulu atau memang laju cepatnya komunikasi kita yang berperan besar dalam psikologis kita?

Selama pandemi, perubahan yang tampak jelas adalah perubahan di bidang ekonomi dan politik. Perubahan tersebut sangat mengkhawatirkan. Kita telah mengalami inflasi menggila selama pandemi, jika berlanjut maka dalam jangka pendeknya bisa menghancurkan negeri. Terkadang kita memang tidak diuntungkan dalam permainan politisi. Orang-orang berkuasa memainkan kekuasaan dengan satu sama lain. Negara-negara berkembang seperti Indonesia memerlukan banyak dana untuk membangun negeri. Negara maju lebih mudah mendapatkan investor karena mereka mampu menyakinkan investor bahwa mereka mampu membayar. Sedangkan Indonesia bisa jadi terpuruk. Kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang akan semakin besar dan mungkin keadaannya akan memburuk beberapa tahun ke depan.

Harapan semua orang saat pendemi berakhir adalah keadaan yang kembali normal. Yang menjadi pertanyaan apakah mungkin? Masyarakat telah berbulan-bulan nyaris tahunan, hidup dalam isolasi, kesepian serta dengan hambatan sosial. Perubahan kehidupan sosial ini memang radikal. Apa kita masih bisa kembali ke kehidupan normal sebelum pandemi, yaitu masyarakat yang berkumpul membentuk kelompok untuk mengerjakan satu tugas bersama atau mereka yang sekadar mengisi aktivitas, serta mereka yang berinteraksi secara cuma-cuma sekadar untuk mendapatkan senyuman.

Ungkapan ‘yang kuat dapat bertahan dan yang lemah tersingkir’ bukankah sangat kejam? Nyatanya, kita juga berada pada fase ini. Banyak orang yang tidak bisa bertahan secara ekonomi: bangkrut, mengalami PHK, kehabisan tabungan. Ada pula yang tua mendapat kurang prioritas di rumah sakit. Kita juga kekurangan ruang untuk mengekspresikan diri. Beberapa orang juga kalah secara psikologis. Semua bentuk kelemahan mampu menghabisi kita dan semua orang akan mengatakan bahwa itu adalah hal yang normal yang terjadi di era ini. Padahal mereka bahkan tak mendapatkan bantuan yang layak. Apa sekarang kita sedang menatap wajah-wajah kapitalis?

Saat pandemi berakhir, kita juga akan segera melupakan social distancing. Saat ini, kita mendapati peralihan sedikit demi sedikit dengan mengurangi komunikasi digital dan mulai melakukan pertemuan secara fisik. Kita menyadari bahwa beralihnya komunikasi digital tersebut bukanlah untuk menyelesaikan pekerjaan, tapi untuk merasakan kembali interaksi sosial secara langsung. Semua orang pasti sudah tidak sabar untuk menyambut saat-saat itu datang.

Cara terbaik untuk hidup di era pandemi adalah dengan menganggap bahwa Covid akan tetap ada dan kita tak bisa membaca banyak kemungkinan di masa depan. Perlahan lockdown mulai berkurang di berbagai negara sehingga banyak orang mulai berpikir bahwa pandemi segera berakhir. Menurut Yonatan Grad, ahli epidemiologi di Harvard, mengatakan bahwa saat ini kita berada dalam jangka panjang. Kita takkan pernah tahu kapan lonjakan pandemi akan kembali muncul. Seperti Cina dan Selandia Baru yang mengalami penurunan kasus, di lain sisi Amerika Serikat dan Brazil mengalami peningkatan kasus dengan cepat setelah pencabutan kebijakan oleh pemerintah.

Upaya bertahan dalam jangka panjang ini adalah dengan hidup melalui new normal. Jangan sampai meremehkan masker, cuci tangan, dan jaga jarak sosial. Lebih baik tetap berhati-hati saat berada di tempat umum. Kita ingin berada di situasi normal di mana kita bisa kembali mencari uang dengan leluasa, makan di tempat-tempat yang kita inginkan tanpa dibatasi, atau berlibur ke mana pun yang kita inginkan. Kita bisa mendapatkan kehidupan normal dengan tetap menerapkan perilaku new normal. Menurut Richard Neher, ahli biologi komputasi di University of Basel di Swiss, risiko terhadap wabah Covid-19 pada akhirnya akan menemui titik kekebalannya di tubuh manusia, seperti halnya terserang flu biasa, tetapi itu juga akan bergantung pada seberapa cepat kekebalan manusia bisa terbentuk.

Di tahun 2022, pandemi akan bergantung pada pengadaan vaksin serta berapa lama sistem kekebalan tetap bagus baik setelah vaksin maupun saat pemulihan dari infeksi. Banyak vaksin yang dapat memberikan perlindungan selama puluhan tahun dan ada yang akan hilang seiring waktu. Vaksin Covid-19 menurut penelitiannya hanya bertahan sekitar 40 minggu. Perkembangan vaksin ini masih akan tetap berlanjut dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk penelitian. Sebaliknya, saat orang-orang sepenuhnya menolak vaksin, seperti malaria yang terus membunuh setidaknya 400.000 jiwa dalam satahun, sesungguhnya keduanya bukanlah penyakit yang tidak bisa dicegah dan diobati.Vaksin mencoba memberikan jalan pintas penyembuhan.

Bagaimanapun vaksin di dalam masyarakat akan terus menemui tantangan dan kendala. Sampai saat ini, masih ada golongan orang yang tidak memercayai Covid-19. Hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan serta agar masyarakat bisa menerima vaksin adalah dengan memberikan komitmen, kepedulian dan komunikasi. Saat kita berhasil melalui fase-fase gelap ini, kita bisa kembali pada kehidupan normal yang kita nanti-natikan. Nantinya, kita akan menganggap bahwa semua yang telah berlalu itu hanyalah sejarah bahwa kita telah mampu bertahan.

Ditulis oleh Karimah Bachmid pada 21/09/2021 dalam rangka mengikuti lomba menulis opini "Andai Pandemi Pergi"

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image