Kamis 22 Oct 2020 13:38 WIB
Cerita di Balik Berita

Jadi Saksi Lepasnya Timor Timur dari Indonesia

Ada sesak saat meninggalkan Timtim yang kini dikuasai Australia.

M Subroto, Jurnalist Republika
Foto: dok. Republika
M Subroto, Jurnalist Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika

Jajak pendapat mengenai nasib Timor Timur (Timtim) yang diselenggarakan 30 Agustus 1999, dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan. Timtim yang menjadi provinsi ke-27 Indonesia lepas menjadi negara sendiri.

Walaupun sudah lepas dari Indonesia, Timtim tidak langsung memproklamirkan kemerdekaannya. Untuk sementara kekuasaan dipegang oleh Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (UNTAET).

Selama masa transisi itu banyak persoalan harus diselesaikan, di antaranya masalah perbatasan. Banyak terjadi pelanggaran batas wilayah oleh tentara Australia yang tergabung dalam UNTAET.

Pihak TNI akan membicarakan persoalan perbatasan itu  dengan UNTAET di Dili, ibu kota Timtim pada 11 April 2000. Aku dan beberapa orang wartawan di Jakarta diajak Mabes TNI ikut serta mengikuti proses tersebut.

Ini seperti liputan ke luar negeri. Memang Timor Timur belum resmi jadi negara, tapi  untuk masuk ke sana tetap saja harus membawa pasport.

Kami menginap semalam di Kupang, besoknya baru terbang ke Timtim. Perjalanan cukup menyenangkan. Dari atas pesawat CN-235 milik TNI AU kami menyaksikan wilayah Timtim yang berbukit dan berpantai.

Ini kunjungan pertamaku ke Timtim. Aku berharap bisa berkeliling kota Dili nanti.

Sampai di Bandara Comoro, suasana ceria di atas pesawat berubah mencekam. Begitu turun pesawat, kami disambut dengan pengawalan tentara Australia yang berbadan besar-besar. Wajahnya dingin, tak ada senyuman. Masing-masing menenteng senjata laras panjang.

Kami tak bisa melangkah jauh dari pesawat. Suasana bandara seperti barak militer. Kendaraan militer lalu lalang, tentara berjaga-jaga. Di pinggir lapangan udara banyak kotak-kotak kayu bertumpuk-tumpuk, membentuk barikade.

Suasana seperti mau perang. Aneh, mau perang dengan siapa?

Kami langsung dinaikkan ke mobil penjemput. Mobil rombongan berjalan beriringan. Di depan dan belakang  kendaraan militer Australia mengawal konvoi. Di udara sebuah helikopter mengikuti iring-iringan kami.

Di tiap sudut jalan aku melihat banyak tentara Australia berjaga lengkap dengan senapan di tangannya. Bendera Australia berkibar bersama dengan bendera PBB di banyak tempat. Tak terlihat satupun bendera Indonesia.

Tak banyak penduduk sipil lalu lalang. Kendaraan yang lewat pun bisa dihitung dengan jari. Di beberapa tempat aku melihat bangunan-bangunan bekas terbakar.

Konvoi berhenti di bekas kantor Kodim Timor-Timur. Pangdam IX/Udayana, Mayjen Kiki Syahnakri bertemu dengan Komandan Pasukan Pemelihara Perdamaian  PBB, LetnanJenderal Jaime de los Santos. Mereka membahas Memorandum Kesepahaman (MoU) soal perbatasan.

Kami wartawan menunggu di luar tempat pertemuan. Tak boleh ke mana-mana. Pasukan Australia bersenjata lengkap mengawasi gerak-gerik kami, seperti menjaga tawanan agar tidak lari.

Dari turun dari pesawat tadi kami memang bak tawanan. Dikawal ketat, tak boleh ke mana-mana.

Padahal aku ingin keliling Kota Dili. Tadinya aku berencana membuat ficer kondisi Dili pascajajak pendapat. Aku sempat mau menyelinap keluar. Tapi seorang tentara Australia menghalau saat aku baru mau keluar pagar.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement