Senin 21 Sep 2020 05:44 WIB

'Obat Imun' untuk Penderita Covid-19

Imunitas itu yang menjadi taruhan untuk melawan covid-19 yang bersarang dalam dirinya

Doktor Pendidikan Agama Islam, Suwendi.
Foto: doc ist
Doktor Pendidikan Agama Islam, Suwendi.

Oleh Dr Suwendi, M.Ag, Alumni Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pesantren Sabilussalam, Ciputat. Pendiri Pesantren Nahdlah Bahriyah Cantigi, Indramayu. Penderita Covid-19 tinggal di Ciputat

REPUBLIKA.CO.ID, Corono virus disease 2019 atau yang biasa disingkat covid-19 merupakan virus yang dapat menimpa kepada siapa saja. Tidak mengenal agama, jenis kelamin, status sosial, hingga usia: tua, muda, dan balita. Virus yang hingga kini belum ditemukan vaksinnya itu terus menghinggapi para korban dengan jumlah yang terus meningkat. Berbagai dampak di bidang ekonomi, pendidikan, keagamaan, dan lain-lain hingga psikologi masa telah semakin nyata. 

Kita patut bersyukur Pemerintah Indonesia saat ini tengah melakukan uji klinis atas vaksin Covid-19, sehingga akan diketahui tingkat validitas dan akurasinya secara tepat. Diharapkan, dengan ditemukannya vaksin ini mampu menekan jumlah korban dan mempercepat proses penyembuhan pasien Covid-19.

Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh seorang penderita covid-19 saat ini, terlebih sebelum ditemukannya vaksin itu? Jawaban utamanya adalah meningkatkan tingkat imunitas dan kesehatan dirinya. Imunitas itulah yang menjadi taruhan untuk melawan covid-19 yang bersarang dalam dirinya. Semua obat belum ada yang absah dideklarasikan sebagai obat paling manjur untuk mengusir covid-19. Jika imunitas kuat, insya Allah Covid-19 akan sirna.

Namun demikian, bagi penderita covid-19 yang memiliki penyakit bawaan, seperti diabetes, jantung, dan lain-lain, Covid-19 akan semakin cepat merambat ke penyakit bawaan tersebut. Baginya, bukan hanya semata-mata imunitas, tetapi semua penyakit bawaan yang dideritanya itu harus disembuhkan terlebih dahulu. Untuk itulah, bagi siapa saja yang memiliki penyakit bawaan agar memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi.

Dalam konteks meningkatkan imunitas, sebenarnya yang membutuhkan tidak hanya penderita Covid-19 an sich, tetapi juga bagi orang yang sehat sekalipun. Imuntas di masa pandemi ini merupakan kebutuhan utama yang harus dijaga, siapapun, kapanpun dan di mana pun. Untuk itu, anjuran untuk terus melakukan PHBS (pola hidup bersih dan sehat) mutlak dilaksanakan, seperti berolahraga, mengkonumsi buah dan sayuran, istirahat yang cukup, beribadah dan berdoa. Selain itu, rajin mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker, dan menjaga jarak dalam berkomunikasi merupakan langkah yang sangat bijak. 

Yang tidak kalah penting untuk meningkatkan tingkat imunitas diri adalah kelapangan hati dan mengelola fikirin dengan baik. Kelapangan hati dan fikiran merupakan syarat mutlak untuk meningkatkan imunitas itu. Jika hati dan pikiran kita lemah, tidak mampu menempatkan persoalan covid-19 ini secara proporsional, maka akan berdampak terhadap kondisi fisik dan imunitas yang memburuk.

Dalam konteks mengelola hati dan pikiran, terdapat beberapa perspektif bagi penderita dalam menempatkan Covid-19 ini. Pertama, keyakinan yang kuat bahwa takdir Allah itu baik. Keyakinan ini penting dan wajib dimiliki oleh siapapun. Ada banyak hal yang dalam perspektif manusia, sesuatu itu buruk tetapi sejatinya menurut Allah itu baik. Demikian juga kebalikannya, menurut manusia itu baik, tetapi menurut Allah  itu buruk. Biasanya, dalam menilai baik dan buruk akan takdir Allah ini, kita masih belum merasa ikhlas, belum lapang dada dengan kenyataan. Mencari-cari pembenaran dan alasan yang seringkali dijadikan dasar penilaian, itulah yang sesungguhnya menjadikan diri kita belum ikhlas menerimanya. Keikhlasan menerima takdir akan mampu melahirkan keyakinan atas takdir Allah.

Kemampuan diri menerima takdir yang didasarkan atas keikhlasan akan berimpliksi pada ketiadaan dalam menyalahkan, baik terhadap orang lain maupun dirinya sendiri. Demikian juga, itu akan mendatangkan ketenangan dalam batin, tidak mudah marah, gelisah, panik, atau berfikiran yang berlebihan. Kemampuan menerima takdir dan ikhlas ini pada gilirannya akan meningkatkan imunitas diri yang jauh lebih baik. 

Kedua, jadikan pengalaman pahit sebagai penderita Covid-19 itu sebagai sebuah kesempatan, bukan ancaman. Mengapa? Karena, tidak banyak orang yang mengalaminya secara langsung. Orang yang terhinggap covid-19 merupakan orang pilihan yang telah diberikan kepercayaan Allah untuk meningkatkan kualitas diri, kemampuan hati dan pikiran, serta mengolah rasa agar bisa lebih baik. Tidak banyak yang mendapatkan kesempatan ini, sehingga penderita Covid-19 merupakan orang-orang pilihan. 

Masa pemulihan, isolasi, dan rehabilitasi selama Covid-19 merupakan masa yang terbaik untuk mengintrospeksi diri. Masa yang jarang ditemui di saat sehat. Masa-masa itu masa terindah untuk menata hati, fikiran, dan langkah apa yang dilakukan jika sehat nanti. Jika boleh diibaratkan, masa terinveksi Covid-19 merupakan masa untuk men-charge semua energi batin dan diri kita. Oleh karenanya, sekali lagi, ini adalah peluang, bukan ancaman.

Orang sehat melihat Covid-19 sebagai “the other” dari dirinya, sementara bagi penderita, Covid-19 merupakan “the inner” dari dirinya sehingga yang mengetahui secara persis adalah penderita itu sendiri. Oleh karenanya, penderita covid-19 harus mampu menjadikannya sebagai kesempatan. Kesempatan untuk saling berbagi, bagaimana orang lain menjadi selamat dan tidak tertular Covid-19, kesempatan untuk mengedukasi orang lain, dan sebagainya. 

Ketiga, penderita Covid-19 harus memiliki semangat dan bangkit. Semangat untuk sehat dan bangkit untuk melanjutkan perjalanan hidup. Jadikan diri sang penderita sebagai sumber inspirasi bagi orang lain. Dalam banyak hal, penderita Covid-19 menjadi sumber perhatian banyak orang, baik orang sehat maupun orang sakit, maka di situlah kesempatan untuk menjadi sumber inspirasi kebajikan: menggugah semangat, menebarkan kenyamanan, mengedukasi, berbagi pengalaman, dan lain-lain.   

Bagi penderita Covid-19, harus terpatri dalam dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain, baik untuk keluarga maupun orang lain. Keluhan dan ratapan hanyalah akan menambah deretan beban, yang tidak terselesaikan. Jauhkan hal itu dari diri sang penderita. Tunjukkan keinginan, semangat, dan keyakinan akan sembuh merupakan langkah strategis untuk dinyatakan. Dengan menunjukkan hal ini, keluarga dan orang lain merasa lega dan menjadi sumber energi tersendiri.

Keempat, jangan tinggalkan doa. Doa merupakan kekuatan mahadahsyat. Di saat belum ditemukannya vaksin atau obat mujabat untuk Covid-19, doa merupakan kekuatan tersendiri untuk mengusirnya. Allah yang mendatangkan Covid-19, maka atas izin Allah-lah Covid-19 itu juga hilang. Doa merupakan wujud kepasrahan total kepada sang Khaliq, yang menyadarkan atas kelemahan dan ketidakmampuan sang penderita Covid-19.  

Permohonan, harapan dan doa yang dimunajatkan oleh banyak pihak akan berpotensi terkabulkannya doa tersebut. Penderita covid-19 hendaknya tidak bosan untuk meminta bantuan kepada orang lain untuk munajat doa. Sebab, kita semua tidak tahu pasti dari munajat siapa doa yang dikabulkan itu. 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement