Sabtu 09 Jan 2016 05:00 WIB

Marwah Petinggi Negeri

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kanan) didampingi Ketua PP Muhammadiyah Busro Muqodas menjawab pertanyaaan wartawan, pada acara Konpers Refleksi Akhir Tahun 2015 di Jakarta, Rabu (30/12).
Foto: Republika/ Darmawan
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kanan) didampingi Ketua PP Muhammadiyah Busro Muqodas menjawab pertanyaaan wartawan, pada acara Konpers Refleksi Akhir Tahun 2015 di Jakarta, Rabu (30/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik di ujung kekuasaannya megumpulkan para menteri. Dia meminta pejabat di 'Kabinet-nya' berbaiat mendukung Khalifah penggantinya, yang tertulis di surat wasiat. Siapapun yang ditunjuk, para pembantu Khalifah itu mesti setia dan tidak boleh menolak.

Singkat kisah, pasca-Sulaiman wafat, maka dibukalah surat wasiat itu. Tercatatlah nama Umar bin Abdul Aziz, cicit Umat bin Khattab yang juga saudara sepupu Sulaiman. Sebenarnya Umar tidak berada dalam garis dinasti langsung. Sulaiman masih punya saudara lainnya dalam klen Khalifah Walid I untuk menjadi penerus kekhalifahan dinasti Umayah.

Ketika nama Umar bin Abdul Aziz diumumkan, para menteri dan kaum muslimin di Madinah mendukung penuh. Namun Umar justru menginterupsi, "Aku tidak menghendaki jabatan khalifah, aku tidak pernah diajak musyawarah atas jabatan itu, aku pun tidak pernah memintanya, cabutlah bai'at itu dan dipilihlah yang kalian kehendaki." Para petinggi pemerintahan dan kaum muslimin bergeming, mereka tetap meminta Umar untuk menunaikan amanat kekhalifahan itu.

Umar bin Abdul Aziz akhirnya menerima jabatan Amirul Mukminin itu. Usai dibai'at dan menyampaikan pidato iftitah, Umar pulang ke rumah dengan raut muka sedih. Istrinya bertanya kenapa suaminya seolah menanggung beban berat. Umar berkata, "Wahai istriku, aku telah diuji Allah dengan jabatan ini dan aku teringat orang-orang yang miskin, ibu-ibu janda, dan mereka yang rezekinya sedikit; aku juga teringat orang-orang tawanan dan para fuqara. Aku tahu mereka akan mendakwaku di akhirat kelak, padahal aku selaku khalifah tidak akan mampu menjawab argumen mereka kerana aku tahu, yang menjadi pembela mereka kelak ialah Rasulullah SAW."

Di belakang hari, di bawah kekhalifahan Umat bin Abdul Azis umat Islam memgalami masa keemasan kedua, setelah era serupa dicapai di masa Khulafa Ar-Rasyidun. Islam meluas ke banyak penjuru jazirah. Rakyat pun hidup makmur, sehingga dikisahkan tidak ada yang berhak menerima zakat. Itulah era kejayaan Islam dan kemakmuran umatnya.

Pijakan Nilai

Kekuasaan dunia itu penting. Melalui kekuasaan, tulis Al-Mawardi, "agama dapat ditegakkan dan urusan dunia dapat dikelola" untuk proyeksi tugas kerisalahan Nabi. Sedangkan menurut Ibn Qayyim, dengan kekuasaan maka akrab ila al-shalih wa ab'ad  'an al-munkar, yakni diraihnya kemaslahatan dan dicegahnya keburukan. Demi urusan dunia itu maka Allah Azza wa Jalla pun memberi mandapat kepada manusia agar menjadi khalifah di muka bumi untuk memakmurkan kehidupan semesta.

Namun kekuasaan dunia itu jika tak dibarengi dengan nilai-nilai agama dan kebajikan akhlak, maka seringkali lepas kendali. Fir'aun menjadi sewenang-wenang dengan kekuasaannya, bahkan memproklamasikan dirinya sebagai Tuhan. Sejarah mencatat para diktator, dan tiran sebagai perusak kehidupan dengan tahta kuasanya yang nirmoral. Konflik, kekerasan, dan perang pun sering terjadi secara brutal karena kekuasaan yang lepas kontrol dan hanya menghamba pada nafsu tahta belaka.

Jangan pernah antikuasa dan mencandra politik serbakotor. Tetapi jangan pula menjadi pengabdi tahta dan memandang seolah politik dan kekuasaan itu sepenuhnya murni, berih, dan serbaindah. Dunia selalu menampilkan dua wajah, dimensi baik dan buruk. Allah bahkan melukiskan dunia sebagai al-mata al-ghurur, lahan sarat permainan. Lalu digariskan agar dunia diurus dengan ihsan dan jangan berbuat fasad di muka bumi, yang buahnya ialah keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Insan mukmin perlu makan dan minum, tapi diberi batasan agar tidak berlebihan dan meraihnya dengan cara yang halal dan baik.

Jika Muhammad Abduh bertawa'udz dari politik, jangan anggap dia naif. Tokoh pembaru dari Mesir itu mengalami betul benturan politik yang keras dan berusaha mengambil jarak dari politik yang mengandung muslihat. Dia memberikan pembelajaran moral dan kearifan hidup, agar muslim tidak serba menerabas. Jika muslim boleh melakukan apa saja demi mengejar kejayaan tanpa bingkai moral, apa bedanya dengan kaum sekuler. Kekuasaan dan politik itu juga mengandung watak dunia yang al-adna, sehingga perlu kesadaran moral.

Di sinilah pentingnya nilai agama, idealisme, dan keluhuran perilaku dalam mencandra tahta, politik, dan kekuasaan sebagai bagian dari hidup duniawi. Tak ada jaminan muslim terjun dalam dunia apapun bebas dari masalah dan kemusykilan, lalu semua hal dianggap gampang dan berlaku adagium 'pertunjukkan mesti berlangsung,' tanpa dibingkai kesadaran untuk melakukan pilihan-pilihan nilai benar atau salah, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Perjuangan hidup kaum muslim meniscayakan keyakinan ideologis. Kekuasaan tidak boleh bebas-nilai demi kesuksesan.

Maka, tak perlu risau dengan pilihan ideologis bagi siapapun yang ingin meraih kekuasan berbasis nilai moral dan idealisme hidup. Para  penganut Komunisme Cina di era Mao Zedong, bahkan bersemboyan, "lebih baik kereta Sosialisme yang terlambat ketimbang Kapitalisme yang tepat waktu." Sampai akhirnya datang seorang Deng Ziaoping sang penganut pragmatisme sejati memutus mata rantai ideologis itu, dengan membalikkan prinsip, "tak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting mampu menangkap kucing."

Kultur Kebajikan

Umar bin Abdul Aziz dan para penguasa bijak memberi contoh tentang kuasa dan tahta yang bermarwah utama. Kekuasaan dikonstruksi secara berjarak, tidak larut dalam kelezatan tahta, serta diperuntukkan bagi kemaslahatan orang banyak. Dia memberi role-model kekuasaan yang berkhidmat untuk kebajikan, keadilan, kemakmuran, dan kemajuan rakyat. Dalam kesadaran ruhani, pikiran, dan tindakannya selaku petinggi negeri bersemi nila-nilai Ilahiah dan kenabian yang melahirkan perilaku politik utama.

Dalam kehidupan apapun insan beriman niscaya menjadi uswah hasanah. Nabi adalah contoh teladan utama. Bagi insan biasa menjadi teladan yang baik tentu tidak sekali jadi, ia memerlukan proses pembelajaran yang terus menerus. Boleh jadi ada salah dan keliru, namun setelah itu mengambil hikmah untuk menjadi makin baik, sehingga menjalani kehidupan dengan fondasi yang benar dan baik, serta memancarkan pencerahan.

Bagi para petinggi negeri tergantung amanat luhur. Bahwa jabatan, kedudukan, dan kekuasaan itu penting dan harus membuahkan maslahat bagi kehidupan orang banyak. Jadikan tahta sebagai jalan meraih kebaikan hidup di dunia dan akhirat sebagaimana munajat setiap muslim sepanjang hayatnya. Raihlah tahta untuk menjadi wasilah menyebarkan rahmat bagi semesta alam. Itulah kekuasaan dunia sebagai sajadah panjang meraih ridla dan karunia Allah.

Apakah memasukkan nilai ideal dan moral dalam kesadaran kuasa sebagai utopia? Tentunya tidak. Empat Khalifah Utama, Umar bin Abdul Aziz, dan para penguasa moralis di pentas sejarah dari dulu hingga kini memberi contoh nyata tentang tahta dan kuasa sebagai jalan kebajikan dan keutamaan hidup bersama. Modal ruhaniahnya ialah niat yang tulus, tekad yang kuat, tindakan baik yang berani di luar kelaziman, serta pembiasaan secara kolektif sebagai kultur kebajikan.

Kiai Ahmad Dahlan pernah berujar dalam pidatonya berjudul 'Tali Pengikat Hidup' tahun 1921, "Orang itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya tinggal pengetahuan saja". Artinya kebaikan itu harus diwujudkan dalam laku, bukan dalam nalar kognisi semata. Perwujudan kebaikan dalam tindakan memerlukan pembiasaan, sehingga berulang tetap dan melahirkan pola-laku. Tentu saja dalam peradaban yang utama, pola-laku itu berwujud tindakan-tindakan utama sebagai marwah kehidupan yang tercermin menjadi kultur kebajikan milik bersama.

Marwah kekuasaan meniscayakan setiap petinggi negeri yang diberi amanah harus merawatnya dengan pijakan moral dan pengkhidmatan kebajikan. Jika di negeri ini samakin banyak para petinggi publik yang bermoral utama dalam mengurus negara maka akan lahir Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur, negeri yang baik dan diamouni Tuhan. Itulah negeri Indonesia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat karena para pemimpinnya sadar amanah dan memiliki marwah kebajikan.

Kekuasan, jabatan, politik, dan apapun yang berada dalam pundak para pemangku kuasa adalah titipan Tuhan dan mandat rakyat yang mesti ditunaikan sebaik-baiknya. Merawat dan mengemban amanat publik itu harus menjadi kuktur kebajikan para petinggi negeri di mana dan kapanpun sebagai amanah sakral Ilahiah dan ihsan kemanusiaan. Jangan pernah mengkhianatinya dengan kepentingan diri, kroni, dan apapun yang naif. Sekali penyalahgunaan itu dilakukan, tunggulah kehancuran negeri!

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement