Senin 17 Jun 2019 16:21 WIB

Aborsi, Kebebasan Memilih ataukah Memilih Bebas?

Aborsi selama ini selalu jadi solusi di hilir tanpa pernah menggali masalah di hulu

Aborsi bisa diperbolehkan karena adanya uzur baik yang bersifat darurat maupun hajat.
Foto: Derekzrishmawy.com/ca
Aborsi bisa diperbolehkan karena adanya uzur baik yang bersifat darurat maupun hajat.

Beberapa bulan lalu, masyarakat Indonesia ramai memperdebatkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Pokok permasalahan dalam RUU PK-S bersingungan dengan hak – hak reproduksi sebagai akar dari seksualitas. Salah satu poin dalam RUU ini adalah legalitas aborsi.

Nyatanya perdebatan legalitas aborsi juga terjadi di negara adidaya, Amerika Serikat. Perbedaan pendapat terjadi di antara pakar, politisi dan para aktivis kemanusiaan. Ketimpangan antara aturan dan pelayanan di masyarakat dianggap menjadi titik lemah aborsi legal yang sesuai dengan aturan.

Aborsi (abortus) berasal dari bahasa latin aboriri – keguguran. Dalam dunia kesehatan, keguguran dapat terjadi dengan sendirinya (spontan) dan dibuat (diinduksi). Namun, selama ini istilah aborsi digunakan untuk menghentikan kehamilan dengan sengaja. Sehingga bila ditinjau kembali pengertian aborsi yang dibuat, adalah menghentikan kehamilan bertujuan untuk menghilangkan (menghancurkan) janin secara sengaja. Sedangkan abortus spontan, disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya penyakit bawaan ibu.

Berdasarkan klasifikasinya, abortus dapat digolongkan, abortus terapeutik dan abortus elektif. Abortus terapeutik biasanya dianjurkan oleh dokter karena sejumlah penyakit tertentu yang merupakan indikasi untuk mengakhiri kehamilan. Contohnya penyakit jantung, karena dengan kehamilan, akan memperberat penyakit jantung ibu.

ada kasus perkosaan, hal ini masih menjadi perdebatan dalam masalah moral, agama, sosial dan politis. Sedangkan abortus elektif  terjadi karena permintaan wanita yang bersangkutan dan biasanya bukan karena alasan medis. Prosedur ini yang membentuk sebagian besar abortus yang terjadi di masyarakat pada saat ini.

Dalam berita online The Guardian, baru – baru ini pemerintah negara bagian Lousiana mengeluarkan undang – undang aborsi yang berkesan lebih ketat, yakni :  aborsi dinyatakan legal jika dilakukan sebelum usia 6 minggu atau sebelum terdeteksinya detak jantung janin. Sehingga detak jantung janin menjadi indikator legal atau tidaknya aborsi yang akan dilakukan. Sebagian besar warga yang telah mengikuti pemungutan suara menyatakan bahwa hal ini terlalu ketat, karena pada usia kehamilan ini rata–rata wanita belum mengetahui jika dirinya hamil. 

Tak jauh berbeda hal serupa juga terjadi di Indiana, perbedaan pendapat antara dua kubu: anti-aborsi (pro-life) dan pro-aborsi (pro-choice), terjadi hingga ke Mahkamah Agung setempat. Perbedaan ini mengacu pada legalitas aborsi selektif, yakni aborsi yang diperbolehkan pada janin yang cacat, pilihan jenis kelamin janin, dan perbedaan ras.

Menjadi hal yang menarik adalah orang–orang disabilitas digunakan sebagai alasan perlu dilegalkannya aborsi selektif. Padahal selama ini para penyandang disabilitas kesulitan mendapat akses melakukan aborsi. Issue kedua adalah jika undang–undang aborsi selektif ini legal tentu akan terjadi eugenika dalam masyarakat.

Eugenika adalah filosofi sosial yang memiliki arti memperbaiki ras manusia yakni dengan membuang orang – orang cacat dan berpenyakit serta memperbanyak individu yang sehat. Tentu eugenika sangat bertentangan dengan norma sosial maupun agama, yakni bertentangan dengan firman Allah :

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS At-Tin : 4).

Dan bertentangan pula dengan firman Allah :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Al-Hujurat: 13)   

Allah juga menciptakan akal pada manusia agar dapat membedakan kebaikan dan keburukan. Maka apabila seseorang mengatasnamakan kebebasan namun tidak memikirkan kebaikan ataupun keburukannya pasti akan terjadi kemungkaran. 

Berdasarkan dua laman berita diatas, telah sedikit tergambar bahwa kebebasan atas hak memilih, dalam hal ini kesehatan reproduksi, tidak dapat bebas tanpa batasan. Kebebasan yang hakiki, sejatinya adalah mustahil karena akan selalu ada pertentangan dari pihak yang tidak sependapat dengan pilihan kita.

Selama ini aborsi dimunculkan sebagai solusi masalah yang ada di hilir, tanpa mencoba menggali dan memperluas solusi sejak di hulu. Parenting, perencanaan dalam keluarga (family planning), meningkatkan kesadaran akan ketuhanan dan solusi lain masih bisa diupayakan tanpa harus memangkas diakhir yang berkesan memilih bebas dari tanggung jawab akan beban kehamilan. 

Di dalam teks – teks Al Qur’an dan Hadist tidak didapati secara khusus hukum aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa orang tanpa hak. Hukum aborsi dalam islam menurut awal hukumnya adalah haram, sesuai firman Allah SWT :

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (QS Al Israa : 33)

Beberapa ulama pun telah sepakat bahwa prosedur aborsi elektif adalah haram. Sedangkan hukum aborsi terapeutik, menurut beberapa ulama, ada yang mengatakan boleh apabila dilakukan sebelum ditiupkannya ruh (120 hari).

Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah  segumlah darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat   untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia. ( Bukhari dan Muslim )

Namun tetap saja terdapat perbedaan pendapat diantara beberapa ulama dan dalam beberapa mahzab. Wallahua’alam bi showab.

Umumnya, aborsi dilakukan akibat ketidaksiapan pasangan akan hadirnya anak akibat seks diluar pernikahan. Allah SWT telah melarang zina bahkan untuk mendekatinya saja telah dilarang melalui firman :

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS Al Israa : 32)    

Apabila kebebasan dan hak reprodusi yang dimaksud masih dalam koridor aturan, tetapi aturan yang berlaku pun tidak bisa mengendalikan gagasan yang bermunculan. Hal ini dikarenakan kekuasaan ada di tangan rakyat, sehingga suara terbanyak yang akan menentukan aturan yang berlaku. Inilah akibat apabila manusia dibiarkan membuat peraturan sendiri, tentu aturan tersebut akan menimbulkan perselisihan dan pertentangan yang justru menyebabkan kesengsaraan.

Solusi seluruh masalah kehidupan manusia sebenarnya telah di jawab oleh Sang Pencipta, bahkan tindakan pencegahan sebelum masalah ini terjadi pun telah disediakan bagi orang – orang yang mau berpikir.

Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin telah hadir lengkap dengan segala pencegahan masalah hidup manusia. Kembali kepada aturan Allah, adalah solusi terbaik untuk memutus lingkaran setan perbedaan pendapat legalitas hukum aborsi.

Penulis : Alifia Candra Puriastuti, praktisi dan pemerhati kesehatan reproduksi

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement