Ahad 07 Apr 2019 15:00 WIB

Legalisasi Miras Lewat Nama Cantik Sophia

Pemerintah NTT berencana meluncurkan miras atau khmar yang dinamai Sophia

Minuman keras (ilustrasi)
Foto: Antara/R. Rekotomo
Minuman keras (ilustrasi)

Sekalipun cantik namanya, tetap saja khamr minuman yang memabukkan. Inilah yang terjadi pada Pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika akan meluncurkan minuman keras (miras) khas daerah itu yang diberi nama Sophia (Sopi asli). Sophia diharapkan menyaingi cap tikus dari Manado.

Menurut Gubernur NTT Viktor Laiskodat, kadar alkohol minuman sophia ini sekitar 45 persen, dan pada tahap pertama akan diproduksi sebanyak 12 ribu botol. Miras Sophia ini dijadwalkan diluncurkan pada Juni 2019. 

Baca Juga

Dikutip dari Tempo.co, untuk menggarap miras Sophia ini, pemerintah NTT bekerja sama dengan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang untuk melakukan penelitian dan pengkajian.

Laiskodat mengatakan miras Sophia dihasilkan dari pohon aren dan enau yang selama ini sudah dijual masyarakat atau usaha kecil mikro menengah (UMKM). Minuman yang dijual UMKM tersebut akan diambil untuk diolah lagi menjadi sophia.

Belum jera juga penguasa negeri ini, melegalkan miras. Sudah banyak korban berjatuhan akibat minuman haram ini. Di wilayah lain selain NTT, jenis oplosan produksi warga sendiri yang telah menimbulkan banyak korban. 

Apalagi jika kemudian justru pemerintah sendiri yang memperbanyak dan menyebarkannya. Sungguh sebuah perbuatan yang jauh dari logika berpikir jernih.

Seperti sudah diketahui banyak orang, kandungan alkohol dalam miras bisa merusak akal. Tidak hanya mengganggu sistem syaraf, juga kerja jantung dan organ interna lainnya. Dan yang terpenting adalah menurunkan kesadaran pemakai.

Jika Allah saja mengharamkan khamr, mengapa pemerintah malah melegalkannya. Bukankah pemerintah bertanggung jawab menjaga akal masyarakat.

Jika kesadaran masyarakat menurun, akal mereka terganggu. Maka akan timbul banyak persoalan di dalam negeri. Hingga akhirnya sulit diharapkan munculnya kebangkitan pada masyarakat seperti ini.

Pengirim: Lulu Nugroho, ibu rumah tangga asal Cirebon

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement