Jumat 08 Jul 2022 03:44 WIB

Dosen UMM: Pemekaran Daerah tak Jamin Pembangunan Merata

Aspek yang membuat pemekaran tidak maksimal adalah sumber daya manusia yang minim

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Gita Amanda
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yana Syafriyana Hijri memberikan tanggapan terkait pemekaran daerah baru.
Foto: Dok. Humas UMM
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yana Syafriyana Hijri memberikan tanggapan terkait pemekaran daerah baru.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Isu pemekaran di tanah Papua sudah sudah ada sejak kepemimpinan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Isu ini kembali mencuat kembali baru-baru ini setelah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Daerah Otonomi Baru di bumi Papua, pada akhir Juni lalu dalam rapat paripurna. 

Melihat akan hal itu, dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yana Syafriyana Hijri pun memberikan tanggapannya. Menurut Yana, akan ada tiga provinsi baru di Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan dengan ibukota Kabupaten Merauke dan Provinsi Papua Tengah dengan ibukota Kabupaten Nabire. "Kemudian yang terakhir yakni Provinsi Papua Pegunungan dengan ibu kota di Kabupaten Jaya Wijaya," ucapnya.

Adapun dasar pemekaran provinsi ini yakni untuk pemerataan pembangunan dan juga mendekatkan layanan publik bagi masyarakat. Namun dia menilai adanya pemekaran daerah tidak menjamin pembangunan yang merata dan kesejahteraan masyarakat. 

Anggapan tersebut dapat dilihat dari beberapa kabupaten di Papua yang merupakan hasil pemekaran pada 2002 dan 2008. Mayoritas kabupaten itu justru masuk di daftar daerah miskin pada 2020. Salah satu contohnya yaitu Kabupaten Deiyai yang memiliki persentase 41 persen masyarakat miskin dari total penduduk setempat. 

Aspek yang membuat pemekaran tidak maksimal adalah sumber daya manusia (SDM) yang minim. Jika SDM yang ada tidak memadai, maka pengelolaan pemerintahan daerah pemekaran akan tidak berjalan dengan semestinya, bahkan mengarah pada indikasi korupsi. Di samping itu, juga kurangnya persiapan dari pemerintah akan daerah pemekaran.

Terkait proses pemekaran, Yana menjelaskan, sebelum 2004, secara administratif harus melalui Kementerian Dalam negeri (Kemendagri). Persyaratan yang perlu disiapkan juga beragam serta peninjauan yang cukup pelik. Hal itu membuat pengajuan pemekaran daerah hanya sedikit. 

Namun sstelah 2004, proses pengajuan pembentukan daerah otonomi baru bisa melalui DPR RI. Menurutnya, hal ini memang memudahkan namun cenderung lebih politis. “Apalagi melihat sikap para pejabat kita saat ini,” jelasnya dalam siaran pers yang diterima //Republika//, Kamis (7/7/2022).

Dosen asli Serang ini berharap pemerintah pusat betul-betul memikirkan pemekaran. Langkah ini bertujuan agar tidak seperti sebelumnya yang justru mengalami kemunduran. 

Di samping itu, pemerintah harus benar-benar menyiapkan aspek SDM guna keberlangsungan provinsi baru yang bisa lebih berkembang. Dengan begitu, masyarakat bisa benar-benar merasa sejahtera dan pelayanan publik dapat semakin baik. Maka dari itu, pemerintah pusat harus melakukan pendampingan sehingga daerah pemekaran bisa mengembangkan potensi yang ada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement