Jumat 01 Jul 2022 08:52 WIB

Korban Erupsi Semeru Berjalan Kaki dari Lumajang ke Istana Negara

Penambangan pasir di Kali Regoyo dianggap tidak sewajarnya.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Andi Nur Aminah
Material lahar hujan Gunung Semeru mengalir di Kali Regoyo, Desa Sumberwuluh, Candipuro, Lumajang, Jawa Timur (ilustrasi)
Foto: ANTARA/SENO
Material lahar hujan Gunung Semeru mengalir di Kali Regoyo, Desa Sumberwuluh, Candipuro, Lumajang, Jawa Timur (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Tiga orang warga Sumber Wuluh, Candipuro, Lumajang melakukan aksi jalan kaki dari Lumajang menuju Istana Negara dengan bawaan seadanya. Mereka melakukan ini untuk memperjuangkan keadilan bagi warga korban erupsi Gunung Semeru, Jawa Timur.

Nor Holik (41 tahun), Masbud (36 tahun), dan Pangat (52 tahun) atas nama Paguyuban Peduli Erupsi Semeru berencana mengadukan nasib warga korban Erupsi Gunung Semeru kepada Presiden Joko Widodo. Alasannya, penambangan pasir di Kali Regoyo yang dianggap tidak sewajarnya.

Baca Juga

"Sejak 2020, kami telah memprotes cara penambangan pasir di Kali Regoyo  yang tidak sewajarnya. Perusahaan tambang membuat tanggul-tanggul dengan cara melintang di tengah- tengah sungai, bahkan mereka membuat kantor di tengah daerah aliran sungai yang berpotensi membelokkan aliran banjir lahar dingin ke daerah pemukiman warga," ujar Nor Holik, selaku Ketua Paguyuban Peduli Erupsi Semeru Lumajang saat ketiganya beristirahat di Purwokerto, Kamis (30/6/22).

Menurut Holik, perusahaan penambang pasir ini melakukan penanggulan untuk menghambat dan menampung pasir yang terbawa banjir. Tanggul dibuat melintang selebar sungai dengan ketinggian hingga empat meter, sama dengan ketinggian tanggul pengaman banjir pada sebadan sungai yang dulu dibangun oleh Pemerintah Soeharto pada tahun 1970.

Karena kekhawatiran ini, pihaknya pun sudah melapor kepada pihak kepala desa, polsek, polres, hingga ke pemerintah Kabupaten Lumajang. "Cara penambang membuat tanggul-tanggul pada sungai itu membahayakan keselamatan kami. Namun, laporan dan kekhawatiran kami tidak ditanggapi hingga saat ini," jelas Holik.

Sejak dulu warga Sumber Wuluh khawatir, jika sewaktu-waktu Kali Regoyo banjir dengan membawa lahar dingin akan meluap ke perkampungan. Pada awal 2021 sudah sempat terjadi luapan pasir ke arah perkampungan. Namun perusahaan penambang tidak mengindahkan ancaman bahaya itu.

"Kami memprotes dan mengadukan hal ini berkali-kali kepada aparat keamanan dan pemerintah. Tapi tidak pernah ada tanggapan dan tindak lanjut," kata Pangat, laki-laki setengah baya yang memutuskan untuk melakukan protes dengan jalan kaki tersebut.

Akhirnya kekhawatiran warga ini terjadi pada 4 Desember 2021 lalu saat Gunung Semeru erupsi. Desa Sumber Wuluh tertimbun oleh guguran pasir Gunung Semeru.

Menurut Holik, seandainya protes warga dulu didengarkan, mungkin desa mereka tidak tertimbun oleh pasir.  Sekalipun juga terdampak, mereka menduga tidak akan separah sekarang dan menimbulkan banyak korban jiwa.

"Inilah yang kami protes, kami menuntut keadilan. Tolong lindungilah warga dari ancaman bencana, Pak Presiden," tutur Holik mengungkapkan harapannya.

Kewenangan perizinan perusahaan penggalian pasir (Galian C) sekarang kewenangannya ada di pemerintah pusat. Karena itu Holik dan kawan-kawan juga berharap agar Pemerintah Pusat menindak tegas pelaku penambangan yang mengabaikan keselamatan lingkungan dan warga.

"Kami tidak menentang penambangan pasir, silakan saja. Tapi tolong, perhatikan keselamatan ladang dan keselamatan masyarakat sekitar," tegas Holik.

Paguyuban Peduli Erupsi Semeru setelah kejadian erupsi lalu juga telah mengadukan ke DPRD Kabupaten Lumajang. "Kami kemarin mengadukan ke DPRD Lumajang yang katanya akan membuat panitia khusus untuk menyelidiki, tapi hingga saat ini tidak ada tindak lanjut apa-apa. Kami juga mengadu ke Bupati Lumajang, tetapi juga tidak pernah ditanggapi. Nggak tahu kenapa?" ujar Holik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement