Selasa 28 Jun 2022 20:32 WIB

Di Tengah Gejolak Global, Pasar Modal Indonesia Dinilai Lebih Tangguh

Di Asia, hanya Singapura dan Indonesia yang indeks sahamnya berkinerja positif.

Rep: ANTARA/ Red: Fuji Pratiwi
Pasar modal (ilustrasi). Direktur & Head of Fixed Income PT BNP Paribas Asset Management Djumala Sutedja menilai pasar modal Indonesia relatif lebih tangguh dibandingkan pasar modal negara lain di tengah gejolak ekonomi global.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Pasar modal (ilustrasi). Direktur & Head of Fixed Income PT BNP Paribas Asset Management Djumala Sutedja menilai pasar modal Indonesia relatif lebih tangguh dibandingkan pasar modal negara lain di tengah gejolak ekonomi global.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur & Head of Fixed Income PT BNP Paribas Asset Management Djumala Sutedja menilai pasar modal Indonesia relatif lebih tangguh dibandingkan pasar modal negara lain di tengah gejolak ekonomi global.

"Resiliensi pasar modal bisa kita lihat terkait dengan kinerja saham, obligasi, dan juga rupiah secara year to date. Kalau kita ambil contoh pasar saham kita, kinerja JCI (IHSG) year to date memberikan return katakanlah kemarin itu 6,6 persen," ujar Djumala saat jumpa pers daring yang dipantau di Jakarta, Selasa (28/6/2022).

Baca Juga

Menurut Djumala, dibandingkan dengan kinerja indeks saham di bursa kawasan Asia lainnya, hanya Singapura yang indeks sahamnya memiliki kinerja yang juga positif. "Dalam hal ini resiliensinya cukup bagus, terutama karena memang tema yang diusung untuk pasar Indonesia yang menarik flow dari investor luar yaitu commodity-related investor," kata Djumala.

Dari sisi obligasi, secara year to date (ytd) imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun telah meningkat 0,9 persen dibandingkan obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang naik 1,6 persen. "Terakhir rupiah, pelemahan rupiah year to date itu mungkin tidak sampai 4 persen terhadap dolar AS, tapi kalau kita lihat regional currencies mungkin range pelemahan sudah di atas 4 persen," ujar Djumala.

Djumala menambahkan, tekanan inflasi global memang menjadi kekhawatiran investor. Inflasi sejak tahun lalu menjadi momok di berbagai negara karena adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran.

"Jadi demand karena pembukaan kembali ekonomi, dan supply karena memang masih ada gangguan dari rantai pasokan. Dan itu diperparah dengan konflik geopolitik antar Rusia dan Ukraina," katanya.

Terkait konflik Rusia-Ukraina, inflasi sendiri dikontribusikan oleh kenaikan harga energi dan makanan. Untungnya, lanjut Djumala, posisi indonesia relatif lebih bagus dari negara lain karena Indonesia merupakan net export komoditas yang justru diuntungkan dengan kenaikan harga-harga komoditas.

Dengan demikian, dari sisi kinerja ekspor justru membaik dan dari sisi penerimaan pemerintah baik pajak maupun nonpajak yang terkait dengan ekspor komoditas juga positif. "Jadi terkait dengan tekanan inflasi sebenarnya bisa diredam. Seperti misalnya pemerintah sudah mengalokasikan sebagian dari excess revenue ini untuk subsidi sehingga bisa menunda atau menahan laju inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan BBM," ujar Djumala.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement