Jumat 17 Jun 2022 18:36 WIB

CIPS: Pembatasan Operasi E-Commerce Asing Bisa Lemahkan Pasar Domestik

CIPS menilai kehadiran asing mendorong E-Commerce lokal tingkatkan kualitas

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menilai, pembatasan operasi perusahaan e-commerce asing di Indonesia malah akan melemahkan pasar domestik. Kehadiran para e-commerce asing itu, menurut CIPS, seharusnya bisa mendorong perusahaan e-commerce lokal untuk terus meningkatkan kualitas layanan dan juga produknya.
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menilai, pembatasan operasi perusahaan e-commerce asing di Indonesia malah akan melemahkan pasar domestik. Kehadiran para e-commerce asing itu, menurut CIPS, seharusnya bisa mendorong perusahaan e-commerce lokal untuk terus meningkatkan kualitas layanan dan juga produknya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --   Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menilai, pembatasan operasi perusahaan e-commerce asing di Indonesia malah akan melemahkan pasar domestik. Kehadiran para e-commerce asing itu, menurut CIPS, seharusnya bisa mendorong perusahaan e-commerce lokal untuk terus meningkatkan kualitas layanan dan juga produknya.

“Ada anggapan bahwa perusahaan e-commerce asing selalu dapat menjual barang dengan harga lebih murah. Hal ini seharusnya disikapi positif. Pemerintah perlu memastikan ketersediaan bahan baku yang digunakan UMKM supaya kualitas produknya meningkat dan mampu bersaing di pasar domestik dan juga internasional,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/6/2022).

Pingkan menyebut, harga yang didapat dengan mengurangi biaya produksi yang tidak efisien adalah sebuah proses wajar untuk mendorong efisiensi dalam skala yang lebih besar. Jika sebuah unit usaha mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar hanya karena produktivitasnya yang tinggi atau manajemen biaya yang cerdas, tentu hal ini tidak termasuk kecurangan usaha.

Sebaliknya, dukungan terhadap UMKM harus menjadi fokus dari revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Mengurangi hambatan masuk ke pasar digital bagi mereka dengan mempertimbangkan kembali persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan Elektronik (SIUPMSE) bagi penjual online akan sangat memudahkan mereka.

“Dukungan untuk UMKM dengan tidak mewajibkan mereka dari persyaratan SIUPMSE adalah strategi yang jauh lebih dapat dibenarkan untuk membantu mereka mengembangkan bisnis dan meningkatkan produktivitas mereka,” ujar dia.

Ia mengatakan, penelitian CIPS merekomendasikan, Kementerian Perdagangan perlu merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 terkait sanksi administratif untuk bisnis online informal dan membebaskan UMKM online dengan situs web bisnis mereka sendiri dari persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE).

Kemudahan ini akan mendorong UMKM untuk memasuki pasar digital dan mendapatkan manfaat dari transformasi ekonomi menuju digital.

Pingkan menambahkan, upaya untuk formalisasi bisnis online melalui PP Nomor 5 Tahun 2021, PP Nomro 5 Tahun 2019 dan Permendag Nomor 50 Tahun 2021 harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengakibatkan migrasi penjual ke platform yang kurang aman, seperti berjualan melalui media sosial, yang dapat merugikan konsumen.

UMKM yang menjalankan website mereka sendiri juga dapat dibebaskan dari kewajiban untuk mendapatkan SIUPMSE. Kegagalan mendapatkan SIUPMSE akan berdampak pada UMKM, yang biasanya memang menunjukkan kesadaran yang lebih rendah akan kewajiban perizinan.

SIUPMSE untuk UMKM dapat ditawarkan sebagai lisensi non-wajib. Kementerian Perdagangan dapat, misalnya, memberikan insentif berupa pemberian “label” atau sertifikat terdaftar atau bersertifikat bagi mereka yang bersedia memperoleh SIUPMSE untuk membantu branding digital mereka

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement