Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufik Alamsyah

Untuk Kamu yang Merasa Kesepian

Info Terkini | Saturday, 28 May 2022, 12:55 WIB

Berita akhir-akhir ini dihebohkan oleh Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, yang telah menunjuk seorang politikus Tetsushi Sakamoto menjadi Menteri Kesepian. Betul, Anda tidak salah dengar! Menteri Kesepian. Saat negara-negara berjibaku untuk melawan, memerangi, dan mengontrol laju pandemi, negeri sakura lebih fokus kepada permasalahan kesepian, kesepian warga negara lebih tepatnya. Memang terlihat aneh dan unik, tetapi ini bukan hal yang pertama yang dilakukan oleh sebuah negara

Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris Theresa May telah menunjuk seorang politisi untuk menduduki jabatan Menteri Kesepian. Pada bulan Januari 2018. Tracey Crouch adalah orang pertama yang menduduki jabatan ini.

Tentu kita akan mengira dan meraba-raba apa maksud dan tujuan para pemimpin ini untuk mengadakan sebuah instansi negara untuk orang-orang kesepian? Ternyata ini tidak bisa dilepaskan dari laporan komisi Jo Cox, yang diambil dari nama anggota parlemen asal Partai Buruh yang tewas dibunuh pada 2016 silam. Politisi ini dikenal dengan kampanye terkait masalah kesepian yang menghinggapi warga Inggris. Hasil laporan itu menyebut jutaan orang di Inggris merasa kesepian yang oleh PM May dianggap sebagai realitas menyedihkan di kehidupan modern. "Saya ingin menghadapi tantangan ini untuk masyarakat dan kita semua harus mengambil langkah dalam menghadapi rasa kesepian yang dirasakan para orang tua, mereka yang kehilangan anggota keluarga, atau sekadar orang yang tak punya kawan bicara," ujar PM May. Sementara itu, Tracey Crouch akan merancang sebuah strategi nasional untuk mengatasi masalah yang menimpa warga berbagai usia ini. "Kami paham ada dampak nyata dari isolasi sosial dan kesepian terhadap manusia, tak hanya terhadap kondisi fisik dan mental mereka, tetapi juga dalam aspek sosial lainnya," ujar Tracey. Diperkirakan 2 juta warga berusia 75 tahun ke atas di seluruh Inggris tinggal sendirian. Para manula ini bisa berhari-hari bahkan hingga beberapa pekan tak mengalami interaksi sosial sama sekali. (Kompas.com - 17/01/2018)

Sementara itu, bukan rahasia lagi, pandemi Covid-19 membuat banyak orang terisolasi dan menimbulkan masalah mental, termasuk kesepian, di berbagai negara, salah satunya adalah Jepang. Di Jepang, isolasi yang disebabkan pandemi dianggap berkorelasi dengan angka kasus bunuh diri yang meningkat pada tahun 2020 lalu. Atas pengakuan tersebutlah PM Jepang, Yoshihide Suga membuat pos kabinet baru untuk mengatasi isu kesehatan mental ini. Dia menunjuk Tetsushi Sakamoto sebagai Menteri Kesepian. Menteri Kesepian secara khusus diminta untuk menjalani program pemerintah yang bertujuan untuk membantu orang-orang yang mengalami kesepian kronis akibat isolasi selama pandemi. "Perempuan, khususnya, merasa lebih terisolasi dan dihadapkan dengan peningkatan angka bunuh diri," ujar Suga, mengutip Mashable. (CNN Indonesia | Sabtu, 20/02/2021 10:58 WIB)

Dari fenomena di atas, kita bisa memahami, bahwasanya, kesepian bukanlah hal yang harus dianggap enteng,mudah, dan diabaikan. Dua kebijakan negara dalam pengadaan instansi untuk orang-orang kesepian lahir dari pembedaan faktor, tetapi berangkat dari satu payung yang sama: Bagaimana kesepian menggerogoti kehidupan warga negaranya, dan itu bisa mengancam nyawa manusia.

Kesepian dalam pandangan Psikologi

Pernahkah Anda mengalami kondisi yang di mana, sesuatu tak lagi bermakna, di mana kehidupan menjadi kosong, tak tentu arah, segala emosional dalam diri kita tidak bisa ditumpahkan ke seluruh aspek maupun media lainnya. Saat kondisi hidup tetiba menjadi hampa, dan orang-orang terdekat dan sekitarnya tak dapat mendeteksi dan memahami apa yang kita rasakan, bagaimana keinginan psikis kita seperti terjerat dalam tali yang begitu kencang dan keras, dan hembusan napas kita seolah-olah tertahan oleh endapan sapu tangan yang sulit untuk kita berontak. Pada akhirnya, sungai airmata mengalir dari langit mata yang sudah kadung mendung yang tak dapat ditampung maupun dibendung. Lalu pasrah dan tak tahu kapan semua akan tiba

Setiap manusia berpotensi mengalami kesepian. Ya, setiap manusia! Realitas hidup yang tak bisa diukur dan ditebak, ruang dan waktu yang terus bergulir akan melahirkan keterkejutan fenomena yang langsung menampakkan wajahnya, dan kita ditampar dan dijambak! Dipojokkan ke sebuah sudut tembok, lalu tercekik! Dan akhirnya luluh lantak! Tak berdaya

Lalu, mengapa kita mengalami kesepian? Dan bagaimana kesepian itu bekerja untuk hinggap dalam kehidupan manusia? apakah kesepian bisa diatasi dengan sebuah ruang yang penuh dengan keramaian? Apakah jaminan kalau kita sering berinteraksi dan berkomunikasi bersama orang lain di sekitar akan menjauhkan kita dari kesepian? Sialnya, tidak!

Meskipun kebutuhan kita untuk terhubung adalah nyata dan intens, entah dari sang kekasih pujaan hati, keluarga inti, sahabat, rekan kerja, bahkan pasangan suami/istri, tetapi tak dinyana banyak dari kita sering merasa sendirian. Kesepian adalah keadaan kesusahan atau ketidaknyamanan yang dihasilkan ketika seseorang merasakan kesenjangan antara keinginan seseorang untuk hubungan sosial dan pengalaman sebenarnya darinya. Kesepian adalah fungsi dari kebutuhan afektif akan persahabatan dan kepemilikan, dan jika tidak ditangani, hal itu dapat mempengaruhi harga diri seseorang (Hawkley, Browne, & Cacioppo, 2005). Kesepian juga dapat membuat kita mempertanyakan dan membongkar kembali mengenai nilai dan kebergunaan kita kepada orang lain dan di mana kita berada.

Bagaimana Melawan Kesepian?

Kehadiran kesepian mencerminkan ketiadaan koneksi, bukan ketiadaan orang. Itulah mengapa seseorang bisa merasa kesepian bahkan di tengah keramaian. Faktanya, berada di tengah keramaian dapat membuat beberapa orang merasa lebih kesepian jika tidak ada anggota jaringan pendukung mereka yang dikenal, dan mereka merasa tidak dapat terhubung dengan orang lain di sekitar mereka. Individu juga mengalami kesepian ketika mereka merasa bahwa jaringan dukungan mereka tidak memberikan dukungan yang mereka butuhkan pada saat tertentu.

Penelitian menunjukkan bahwa kesepian menimbulkan ancaman serius bagi kesejahteraan serta kesehatan fisik jangka panjang. Entah seseorang hidup dalam isolasi atau tidak, merasakan kurangnya keterhubungan sosial bisa menyakitkan. Kesepian dapat dijelaskan dengan berbagai cara; Ukuran kesepian yang umum digunakan, Skala Kesepian UCLA (University of California Los Angeles), menanyakan individu tentang berbagai perasaan atau defisit koneksi, termasuk seberapa sering mereka: merasa mereka kekurangan persahabatan, merasa tersisih, merasa "selaras" dengan orang-orang di sekitar mereka, merasa ramah dan bersahabat, merasa ada orang yang bisa mereka tuju.

Peneliti kesendirian John Cacioppo berpendapat bahwa sama seperti Anda dapat memulai rutinitas olahraga untuk mendapatkan kekuatan dan meningkatkan kesehatan, Anda juga dapat memerangi kesepian melalui gerakan kecil yang membangun kekuatan dan ketahanan emosional. Dia telah merancang teknik untuk orang-orang yang berisiko tinggi mengalami kesepian kronis, seperti tentara yang kembali dari Irak dan Afghanistan. Mereka mungkin berguna bagi siapa saja.

Sejumlah hasil yang tidak menguntungkan telah dikaitkan dengan kesepian. Selain hubungannya dengan gejala depresi dan bentuk penyakit mental lainnya, kesepian merupakan faktor risiko penyakit jantung, diabetes tipe 2, dan artritis, di antara penyakit lainnya. Orang yang kesepian juga dua kali lebih mungkin mengembangkan penyakit Alzheimer, saran penelitian. Keadaan kesepian kronis dapat memicu respons fisiologis yang merugikan seperti peningkatan produksi hormon stres, menghambat tidur, dan mengakibatkan melemahnya kekebalan tubuh. (https://www.psychologytoday.com/intl/basics/loneliness)

Kesepian dan kesendirian tentu hal yang berbeda. Kita terkadang menginginkan waktu berkualitas untuk pemenuhan hasrat diri ini dengan menjauhkan jiwa dari kebisingan dunia, tidak lain adalah supaya menetralkan, meringankan, memugarkan pikiran dan susasana hati untuk sementara belaka. Lalu kita kembali, dengan kesigapan, kekuatan, dan ketahanan mental kita untuk menghadapi dunia yang kadung brengsek ini. Saya, kamu, kalian, dan umat manusia seluruh duniapun mengalami kesepian. Kamu tidak sendirian! Jangan takut dan jangan memusuhi kesepian! Bagaimana kalau logikanya kita terbalikkan, kesepian bukan untuk diratapi dengan waktu berkepanjangan, tetapi kesepian kita rayakan semegah-megahnya, seindah-indahnya, sebahagia-bahagianya! Memang tidak menyelesaikan persoalan yang ada, tetapi itu satu langkah untuk menciptakan harapan kembali, mendaur-ulang segala konsepsi-konsepsi pandangan manusia lain, dan memberi ruang kesadaran untuk hidup ini, seperti apa yang dikatakan oleh Dea Anugerah, “Hidup Begitu Indah dan Hanya itu yang Kita Punya.”

Ok, kembali lagi dalam sebuah kebijakan dan keputusan PM Inggris dan PM Jepang. Dalam relasi-politik antara pemimpin negara dengan warga negaranya, saya melihat bagaimana pemimpin negara itu peka terhadap permasalahan individu warga negara. Permasalahan sosial, kesehatan, dan ekonomi memang sangat krusial untuk dihadapi dan diselesaikan, tetapi bukankah ketiga permasalahan itu sangat berkelindan? Yang di mana dapat menyebabkan manusia merasa kesepian? Konsentrasi terhadap perhatian dan penyembuhan kepada warga negara yang mengalami kesepian bukan sebuah lelucon! Tindak-tanduk segala macam aktivitas warga negara adalah tanggung jawab sebuah pemimpin negara! Dan negara wajib mengayomi, memberi bantuan serta penyuluhan, dan hukum. Selain pemerataan ekonomi dan keadilan, warga negara juga butuh pemerataan kasih sayang!

Sebab, ketercamukkan dan ketidakaturan dunia terjadi karena kekurangan rasa cinta, kasih sayang, dan kepedulian terhadap manusia lain dan lingkungan! Sebab, hanya cinta, sekali lagi saya katakan, hanya cinta yang dapat menyeimbangkan kehidupan semesta dan keharmonisan dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image