Jumat 27 May 2022 19:07 WIB

Kata Epidemiolog, Munculnya Virus PMK di Indonesia Bisa karena Perubahan Iklim

Banyak hewan liar memiliki penyakit yang sama dengan manusia

Pekerja usai memerah susu sapi di perternakan sapi perah di kawasan Duren Tiga, Jakarta, Rabu (25/5/2022). Menurut pekerja isu terkait Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) akhir-akhir ini tidak berpengaruh terhadap penjualan susu sapi, Hal ini dikarnakan perternakan sapi perah di tempat tersebut selalu rutin menjaga kesehatan sapi dengan mendatangkan Dokter. Saat ini harga susu di tempat tersebut di jual Rp 11.000 per liter.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Pekerja usai memerah susu sapi di perternakan sapi perah di kawasan Duren Tiga, Jakarta, Rabu (25/5/2022). Menurut pekerja isu terkait Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) akhir-akhir ini tidak berpengaruh terhadap penjualan susu sapi, Hal ini dikarnakan perternakan sapi perah di tempat tersebut selalu rutin menjaga kesehatan sapi dengan mendatangkan Dokter. Saat ini harga susu di tempat tersebut di jual Rp 11.000 per liter.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Epidemiolog asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Ewaldus Wera, mengatakan bahwa perubahan iklim bisa menjadi salah satu faktor munculnya virus baru seperti halnya Covid-19 dan virus yang muncul kembali seperti penyakit mulut dan kuku (PMK) yang saat ini menyerang ternak sapi di sejumlah daerah di Indonesia. Menurutnya, saat ini perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu sebagai dampak dari berkurangnya hutan tropis mendorong Hewan-hewan liar bermigrasi dan bahkan berinteraksi dekat dengan manusia.

Kelelawar dan kera hutan sudah memasuki pemukiman penduduk dalam mendapatkan makanan. Banyak hewan liar memiliki penyakit yang sama dengan manusia, dan bisa jadi awal mula munculnya pandemi.

Baca Juga

Dalam konteks virus PMK yang kembali mewabah di Indonesia, Ewaldus menyampaikan penyebaran virus PMK sangat mungkin berkaitan dengan perubahan iklim. Kata dia, pemanasan global memungkinkan menjadi pendorong terjadinya perbedaan tekanan udara.

Konsekuensinya adalah meningkatnya kecepatan angin dari satu daerah ke daerah yang lain dan bisa jadi memunculkan wabah penyakit pada hewan. "Saya pikir sangat mungkin terjadi karena perubahan iklim yang terjadi saat ini berdampak serius pada kesehatan hewan dan mempercepat penyebaran penyakit. Kelembaban udara yang tinggi dan peningkatan kecepatan angin  dapat mempercepat penularan virus PMK dari satu pertanian ke pertanian lainya," ujar Ewaldus, Jumat (27/5/2022).

Lebih lanjut Ewaldus menyampaikan penyebaran virus PMK melalui udara dalam jarak yang jauh sangat mungkin terjadi, bisa mencapai 60-300 km. Menurutnya ada beberapa faktor yang mendukung penularan jarak jauh melalui udara yaitu jumlah virus, kelembaban udara, kecepatan angin dan topografi daerah.

Daerah dengan topografi datar memiliki resiko lebih tinggi terjadi penularan melalui udara dibandingkan dengan daerah yang berbukit. "Untuk Jawa Timur dengan Kelembaban udara yang tinggi, lebih dari 60 persen dan kecepatan angin 10-30 km per jam sangat memungkinkan virus PMK stabil diudara dan tetap mempertahankan daya infeksi sampai menemukan host baru," katanya.

Jika dianalogikan, kata Ewaldus, Iklim tropis dengan kelembaban udara di atas 60 persen yang ada di Indonesia maka sangat memungkinkan bagi penyebaran virus PMK menular melalui udara. Apalagi virus tersebut bisa bertahan hidup dalam udara bebas sampai pada suhu 27 derajat celcius.

"Untuk itu pemahaman yang lebih baik tentang wilayah geografis yang memiliki resiko penyebaran PMK melalui udara sangat penting dalam mendesain program pencegahan penularan virus," katanya.

Namun dari pada itu, hal yang lebih penting adalah pemerintah harus mendorong peternak untuk memotong ternak yang bergejala klinis PMK melalui tempat yang sudah ditentukan. Hal ini akan mengurangi jumlah virus yang menular lewat udara maupun kontak langsung.

"Pemotongan bisa dilakukan di RPH atau tempat yang sudah ditentukan," ujarnya dalam siaran pers.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement