Selasa 24 May 2022 18:58 WIB

BI Pertahankan Suku Bunga, Kurangi Likuiditas

BI mempercepat normalisasi pengendalian likuiditas dengan naikkan GWM Perbankan

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Mei 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.
Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Mei 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Mei 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.

"BI pertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen," katanya dalam konferensi pers RDG, Selasa (24/5).

Pada RDG kali ini, BI juga mempercepat normalisasi kebijakan pengendalian likuiditas dengan kembali menaikan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan. Hal ini dilakukan di tengah tingginya tekanan eksternal  terkait dengan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina serta percepatan normalisasi kebijakan moneter di berbagai negara maju dan berkembang.

Perry mengatakan, BI menempuh penguatan bauran kebijakan termasuk mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah secara bertahap. Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk Bank Umum Konvensional yang pada saat ini sebesar 5,0 persen naik menjadi 6,0 persen mulai 1 Juni 2022, 7,5 persen mulai 1 Juli 2022 dan 9,0 persen mulai 1 September 2022.

 

Sementara Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang pada saat ini sebesar 4,0 persen, naik menjadi 4,5 persen mulai 1 Juni 2022, 6,0 persen mulai 1 Juli 2022, dan 7,5 persen mulai 1 September 2022. Akan ada pemberian insentif dengan ketentuan.

Pemberian remunerasi sebesar 1,5 persen terhadap pemenuhan kewajiban GWM setelah memperhitungkan insentif bagi bank-bank dalam penyaluran kredit pembiayaan kepada sektor prioritas dan UMKM dan atau memenuhi target RPIM.

Perry memastikan kenaikan GWM tersebut tidak akan mempengaruhi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian SBN untuk pembiayaan APBN. Menurutnya, rasio Alat Likuid per Dana Pihak Ketiga (DPK) masih akan terjaga di atas angka sebelum pandemi.

"Akan ada pengurangan likuiditas sekitar Rp 110 triliun, tapi rasio AL/DPK akan sekitar 28 persen dari sekarang 29 persen, itu masih di atas angka sebelum pandemi yang 21 persen," katanya.

Insentif bagi bank-bank juga diberikan pada jika memenuhi penyaluran kredit pembiayaan kepada sektor prioritas dan UMKM. Subsektor prioritasnya pun ditambah dari semula 38 menjadi 46 sektor prioritas.

Perluasan cakupan subsektor prioritas ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu resillience (kelompok yang berdaya tahan), growth driver (kelompok pendorong pertumbuhan), dan slow starter (kelompok penopang pemulihan). Pemberian insentif tersebut ditujukan untuk semakin meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan inklusif dan pemulihan ekonomi nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement