Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufik Alamsyah

Pembelajaran IPS: Esensialisme dan Perenialisme Sebagai Alternatif Jawaban

Guru Menulis | Wednesday, 18 May 2022, 23:05 WIB

Pembelajaran bidang sosial lebih kompleks, rumit, dan tidak ada kepastian di dalamnya. Ilmu pengetahuan sosial bertumbuh dari ruang dan waktu sebelum masehi sampai kehidupan kiwari. Dari filsuf pra-socrates sampai post-humanism. Dari evolusi ilmu sosial bertumbuh dan berkembang hingga terjadilah sebuah dialektika, yang dinyana melahirkan keilmuan dan pengalaman dari pelbagai zaman yang tertuang dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Ilmu sosial lahir untuk mempelajari, mendeteksi, dan mengevaluasi setiap peristiwa untuk kebaikan dan kebajikan umat manusia.

Oleh sebab itu, dalam dunia pendidikan, ilmu sosial dituntut memenuhi bekal ilmu pengetahuan kepada peserta didik kelak untuk dapat memberikan pemikiran eksplisit alternatif guna memperpanjang harapan kehidupan sosial agar lebih sehat, adil, bahagia, dan menyenangkan. Namun, ada beberapa kendala dalam pembelajaran sosial, yaitu, bagaimana keseluruhan materi yang begitu kompleks dan abstrak, terkadang, menjadi hambatan bila disandingkan dengan waktu yang telah tersedia dalam kurikulum. Ditambah lagi dengan era pandemi ini, yang, di mana waktu pembelajaran sosial semakin terkikis dan itu memengaruhi jam ngajar yang semakin berkurang. Pendidikan sosial menjadi elemen penting dan genting, dan karena itulah, amat disayangkan bila terbenturkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada.

Dalam realitas kehidupan yang semakin tak menentu dan selalu berubah-ubah, juga inkonsistensi ruang dan waktu, disrupsi teknologi berbasis algoritma, semakin memperjelas, bahwa kehidupan manusia terombang-ambing dalam gelagat ketidakpastian menentu, dan pengetahuann sosial, harus mampu memberikan alternatif dalam menghadapi kehidupan tersebut. Adalah esensialisme dan perenialisme, pemikiran filosofi dalam pendidikan sebagai alternatif untuk menjawab tantangan tersebut. Essensialisme merupakan aliran filsafat yang muncul pada awal tahun 1930 sebagai akibat dari timbulnya Renaisance.

Titik puncak refleksi dari aliran essensialisme ini adalah pada pertengahan kedua abad ke-19. Dengan beberapa tokoh pelopor seperti, William C. Bagbley, Thomas Briggs, Frederic Breed, dan Isac L. Kandell. Para ahli sejarah menganggap essensialisme sebagai “Conservative Road to Culture”, yatu suatu aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah, yang telah terbukti memberikan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan umat manusia. Kebudayaan saat ini telah menyimpang jauh dari ketentuan-ketentuan warisan budaya lama. (Abdul Aziz dan Abdusysyakir, Analisis Matematis terhadap Filsafata Al- Qur’an, 2006). Essensialisme pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik terhadap trend-trend progresif disekolah-sekolah, yang disebabkan oleh bias dari filsafat progresifisme. Dalam hal ini Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral diantara kaum muda. Sekolah-sekolah yang menjadikan pemikiran progresif sebagai pijakan telah gagal dalam mengemban tugas untuk mentrasmisikan warisan-warisan sosial dan intelektual negara (Uyoh Sadulloh, Pengantar Flsafat Pendidikan, 2003).

Sejurus dengan esensialisme, perenialisme juga turut mengkritisi kehidupan intelektual dari progresivisme yang membuat dunia pendidikan semakin tak tentu arah dan tak ada kepastian tujuan. Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis di pelbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.

Perenialisme memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan kemasa lampau. Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus.

Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat Pendidikan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image