Tiga Makna Idul Fitri

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko

Rabu 04 May 2022 15:21 WIB

Idul Fitri Ilustrasi Foto: Republika/Wihdan Idul Fitri Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, menyampaikan, Idul Fitri membawa pesan kemenangan yang mempunyai dua dimensi. Hal tersebut disampaikannya saat menjadi khatib sholat Idul Fitri 1443 Hijriyah di Masjid Al A'raaf, Pisangan Ciputat.

Buya Amirsyah menjelaskan, pertama, dimensi vertikal memperkuat spiritual dengan dasar iman dan taqwa (Imtaq) untuk memenangkan  setiap pertarungan hawa nafsu agar taat kepada Allah dengan harapan menjadi orang yang bertaqwa (muttaqin). Kedua, dimensi sosial yakni kemenangan secara horizontal khususnya dimensi sosial guna memperkuat kepedulian sosial dari kesalehan individu menjadi kesalehan sosial dengan berbagi antara sesama.

Baca Juga

"Gerakan ekonomi masyarakat dapat dilakukan untuk memperkuat kohesivitas sosial di masa pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional agar masyarakat pedesaan memperoleh limpahan ekonomi dan keuangan dari para pemudik melalui gerakan sosial mudik ke seluruh penjuru Tanah Air," kata Buya Amirsyah dalam khutbah Idul Fitri 1443 Hijriyah.

Ia menerangkan, oleh sebab itu momentum  Idul Fitri bagi umat Islam berarti kembali menjadi suci. Pendapat ini didasari oleh sebuah hadis Rasulullah SAW, barang siapa yang melaksanakan ibadah shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fitri ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (tiflul) dalam rahim ibunya.  

Ia menambahkan, setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani.

Buya Amirsyah mengingatkan, penting di catat kata fitrah diambil dari bahasa Arab yaitu fa-tho-ro yang berarti membuka atau menguak, juga dapat diartikan sebagai perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitrah dikaitkan dengan kata sifat, asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.

"Untuk itu berbuka puasa setiap hari disebut ifthar, yang secara harfiah dapat dipahami memenuhi fitrah yang suci dan baik.  Secara simbolis makan dan minum yang halal dan thoyib adalah merupakan bagian dari fithrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini kita mengerti mengapa Islam mewajibkan iktiar makan, minum, tidur, menikah, bekerja dan seterusnya secara halal dan thoyib," jelas Buya Amirsyah.

Ia menyampaikan, Nabi Muhammad SAW pernah memberi peringatan keras kepada salah seorang sahabat, yakni Utsman ibn Mazh'um yang ingin menempuh hidup suci dengan melakukan semacam pertapaan. Nabi juga melarang keras pikiran sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tidak menikah seumur hidup, karena menyalahi fitrah.

Ia menjelaskan, Idul Fitri mengandung makna kembali kepada hakikat dari manusia dan kemanusiaan. Jadi manusia diciptakan Allah dalam fitrah kesucian dengan adanya ikatan perjanjian yang kuat  (mitsaaq) yang disifatkan sebagai perjanjian yang sangat kuat (Mitsaqan Ghalizon) antara Allah dan manusia sebelum manusia itu lahir ke bumi.

Allah SWT mengingatkan agar manusia tetap pada fitrahnya dalam Surah Ar-Rum Ayat 30. Artinya, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptkan fithrah manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Tiga Makna Idul Fitri

Buya Amirsyah menjelaskan, makna dan hakikat Idul Fitri paling tidak mengandung tiga arti penting. Pertama, hari asal kejadian manusia bagaikan manusia yang lahir ke dunia ini dalam keadaan suci dan bersih, tanpa membawa dosa apapun. Karena berpuasa dengan iman dan penuh perhitungan (ihtisaban) selama bulan Ramadhan.  

"Kedua, merayakan Idul Fitri (tanggal 1 Syawal) merupakan hari diwajibkan berbuka dengan makan, minum dan bergembira bagi umat Islam (yaum ukli wa syurbi wa jahbati lil muslimin) karena pada hari diharamkan untuk berpuasa pada 1 Syawal," jelasnya.

Ia mengatakan, yang ketiga, hari kemenangan bagi segenap umat Islam, karena mereka telah berjuang dengan sungguh-sungguh (berjihad)  melawan kezaliman, hawa nafsunya selama satu bulan penuh. Maka pada saat Idul Fitri umat dan bangsa merayakan kemenangan tersebut dengan penuh rasa syukur, haru, kegembiraan dan suka-cita dengan saling memaafkan antar sesama anak bangsa.

"Oleh sebab itu saya mengajak umat Islam dan seluruhnya berkomitmen memelihara bangsa, menjaga serta mengawal kesucian diri (fitrah) tersebut setidaknya dengan tiga sikap," ujar Buya Amirsyah.

Ia menjelaskan, sikap yang pertama, Ihsan adalah lawan dari sikap kejelekan (isa'ah), yaitu seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak dengki, tidak khianat, tidak sombong  kepada orang lain, karena prilaku ihsan merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah SWT.  

"Ihsan terbagi menjadi dua macam, yaitu ihsan di dalam beribadah kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq) dan Ihsan kepada makhluk semua ciptaan Allah dengan saling memaafkan lahir dan batin," ujarnya.

Ia menjelaskan, yang kedua, bersyukur, yakni berterima kasih, senang memperoleh nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya baik dengan lisan, hati maupun perbuatan. Nikmat berupa rezeki yang telah diberikan Allah kepada manusia tidak akan mampu menghitungnya. Sebagai wujud rasa syukur di saat bangsa ini mengalami gonjang ganjing ekonomi, semua harus bekerja keras untuk melakukan pemulihan ekonomi.

Ketiga, istiqamah, yakni konsisten dalam menempuh jalan Islam yang lurus (benar) dalam keyakinan (keimanan) dan kebenaran (haq) dengan tidak berpaling dari keyakinan dan kebenaran tersebut. Istiqomah dalam semua bentuk ketaatan kepada Allah lahir, batin dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya, termasuk mencegah segala macam fitnah, adu domba dari buzzer terlebih dalam menjaga kesehatan dengan cara wajib iman, wajib aman dan wajib imun dalam mencegah pandemi Covid-19.

"Kita optimis umat sehat, menjadi negara yang kuat untuk berdaulat," kata Buya Amirsyah.