Selasa 26 Apr 2022 12:54 WIB

Pengamat: Independensi Indonesia tak Masalah Jika Rusia Datang di G20

Indonesia akan selalu bersikap independen dan aktif dalam politik global.

Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara selama pertemuan Dewan Pengawas Tanah Peluang Rusia di Kremlin, di Moskow, Rusia, Rabu, 20 April 2022.
Foto: AP/Mikhail Klimentyev/Pool Sputnik Kremlin
Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara selama pertemuan Dewan Pengawas Tanah Peluang Rusia di Kremlin, di Moskow, Rusia, Rabu, 20 April 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Maritim Raja Ali Mohammad Riza Widyarsa mengatakan independensi politik luar negeri Indonesia tidak terpengaruh dengan mengundang Rusia datang ke KTT G20 di Bali pada November 2022. Sikap Indonesia tegas tidak ada yang mengatur. 

"Indonesia tegas bahwa tidak ada yang bisa mengatur. Ketika ada aksi walkout dari delegasi Kanada, AS, dan Inggris, (Menteri Keuangan RI) Sri Mulyani menegaskan tidak masalah, terpenting diskusi mengenai forum tercapai. Itu menunjukkan sikap independensi politik luar negeri Indonesia tetap tidak masalah jika Rusia datang," kata Riza dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Baca Juga

Ketegangan antara Rusia dengan Ukraina berpengaruh terhadap jalannya KTT G20. Meskipun demikian, kata ia, sebagai anggota Gerakan Non-Blok, Indonesia akan semakin kuat dalam menerapkan politik bebas aktif terkait urusan internasional, seperti konflik antara Rusia dan Ukraina.

Indonesia akan selalu bersikap independen dan aktif dalam pemerintahan global, katanya.Oleh karena itu, dengan mengundang Rusia untuk hadir di G20 menjadi bukti dari sikap independensi sekaligus menegaskan posisi politik luar negeri Indonesia yang tidak mengikuti blok mana pun.

Dia menilai langkah yang dilakukan Indonesia sudah tepat dan menunjukkan netralitas sekaligus ketegasan sebagai pemegang Presidensi G20 2022 yang didominasi oleh negara-negara barat.

G20  sebenarnya sama dengan Gerakan Non-Blok yang merupakan organisasi politis. "G20 merupakan wujud implementasi paradigma liberalisme di dalam Ilmu Hubungan Internasional untuk mencapai kerja sama ekonomi demi terwujudnya perdamaian dunia," jelasnya.

Menurutnya, di dalam G20 terdapat Rusia, AS, China, dan negara-negara Uni Eropa, yang diharapkan mewujudkan kerja sama ekonomi, sehingga hubungan mereka akan semakin erat dan akan meminimalisir konflik.

Sikap politik luar negeri Indonesia itu juga mendapat sambutan baik dari China, Prancis, Turki, dan India, tambahnya."Seperti India, mereka memiliki hubungan dagang yang erat dengan Rusia. Jadi, apa yang dilakukan Indonesia akan sangat didukung oleh India. Yang menarik adalah sikap Prancis, karena termasuk anggota NATO dan Uni Eropa; tetapi di satu sisi Prancis masih berusaha membina hubungan baik dengan Rusia karena banyak mengimpor gas dari Rusia, apalagi Rusia sudah mengancam akan menghentikan ekspor gas ke negara-negara Uni Eropa," katanya.

Sikap setiap negara akan menjadi pragmatis dalam memberi dukungan atau apresiasi. Ia berpendapat kunjungan Menlu Indonesia ke beberapa negara, untuk menegaskan sikap Indonesia yang tidak menolak Presiden Rusia Valdimir Putin datang, akan berdampak pada kepercayaan bahwa G20 tetap akan netral."Jika G20 mendapatkan tekanan keras dan 'disetir' oleh AS dan NATO, dikhawatirkan hubungan dagang Rusia dan seluruh negara di G20 akan semakin memperkeruh suasana," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement