Kamis 21 Apr 2022 17:06 WIB

Merawat Demokrasi Indonesia Melalui Gerakan Perempuan

Esensi dari gerakan-ge­ra­kan perempuan merupakan dakwah untuk mewujudkan keadilan.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
logo 'Aisyiyah.
Foto: tangkapan layar google
logo 'Aisyiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gerakan perempuan di Indo­nesia berdampak pada ber­bagai aspek, termasuk da­lam pembangunan bangsa dan juga terciptanya demo­krasi Indo­nesia. Gerakan-gerakan perempuan In­donesia ini menjadi pembahasan yang menarik dalam Seminar Pra-Muk­tamar Mu­ham­madiyah- ‘Aisyiyah yang digelar secara daring, Kamis (14/4/2022).

Sejumlah narasumber yang mengi­si se­minar dengan tajuk ‘Arsitektur Gera­kan Pe­rem­puan Berkemajuan’, seperti Kurniawati Has­tuti Dewi yang aktif sebagai reviewer jur­nal, Direktur Rumah Kita Bersama, Lies Mar­coes dan Sukendar yang juga pernah men­jadi Komi­sioner Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak di Jawa Tengah.

Kurniawati Hastuti Dewi yang aktif sebagai reviewer jurnal baik nasional maupun interna­sio­nal mengatakan, ge­rakan perempuan di Indonesia bu­kan hal yang baru. Bahkan, gerakan perem­puan Indonesia sudah ada sejak era kolo­nial hingga di era demokrasi saat ini.

“Ada hak pilih, kuota gender se­jak awal reformasi 2002, mewarnai elekto­ral politik, perlindungan negara dan kekerasan perempuan di ruang privat maupun publik,” jelas Kur­niawati.

Organisasi keagamaan besar di Indonesia seperti Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, lanjut dia, menyediakan lan­da­san politik keagamaan yang kokoh bagi perempuan Muslim untuk menja­di pemimpin di politik lokal. Bahkan, hal tersebut tidak terjadi di negara tetangga seperti Malaysia karena corak keagamaannya yang berbeda.

Ia menuturkan, masyara­kat In­do­nesia harus bersyukur dengan corak keaga­maan Indonesia yang sa­ngat progresif, yang mana berkon­tri­busi untuk membuat wajah de­mokrasi semakin inklusif.  “Dari riset saya di Jawa, Sulawesi Selatan, dan Kaliman­tan Barat, semakin banyak perempuan muslim yang mun­cul dari etnis yang berbeda dan latar bela­kang sosial yang berbeda,” katanya.

Namun, tantangannya terjadi pada kondisi politik elektoral yang biasanya terpecah. Seper­ti halnya gerakan pe­rem­puan pada pemilu 2019 yang men­dorong agenda gender dan menjadi bagian capres.

“Prabowo-Sandi menggunakan The Power of Emak-emak dan Jokowi-Ma’ruf Amin meng­­gunakan istilah Ibu Bangsa. Dan hati-hati pada pemilu 2024 karena mungkin ini juga diaki­bat­kan oleh arsitektur elektoral politik yang memang mengharuskan keseren­takan pemilu presiden dan pemilu DPR dan DPRD,” jelas dia.

Terpisah Direktur Rumah Kita Ber­sama, Lies Marcoes yang memba­wa­kan tema ‘Peta Gerakan Perempuan di Kalangan Masyarakat Kota’ menya­takan, adanya konvergensi atau pe­nya­tuan antara aktivis perempuan sekuler dan feminis Islam menjadi tonggak munculnya gerakan perempuan Islam di Indonesia.

Konvergensi itu, katanya, me­mung­kinkan ge­rakan perempuan un­tuk berbicara baik yang ada di perde­sa­an maupun di perkotaan. Menu­rutnya, hal yang juga perlu dilakukan oleh ‘Ais­yiyah sebagai organisasi perempuan Islam yak­ni melalui pelatihan-pelati­han tentang gender. Selain itu, hal lain yang juga dapat dilakukan di anta­ra­nya membangun metodologi dengan menggandeng cara pandang-pandang interna­sional dalam hal ini HAM.

Sukendar yang juga pernah men­jadi Ko­mi­sioner Komisi Perlindungan Korban Keke­rasan Berbasis Gender dan Anak di Jawa Te­ngah mengung­kapkan, esensi dari gerakan-ge­ra­kan perempuan merupakan dakwah untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dan men­se­jah­terakan masyarakat luas.

“Pijakan yang berbeda kalau kita Muham­madiyah- ‘Aisyiyah, pijakan dengan nilai-nilai Islam. Karena keadi­lan adalah nilai Islam yang harus diwu­judkan, kesetaraan juga adalah hal yang harus diwujudkan,” kata Suken­dar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement