Senin 29 Apr 2019 17:30 WIB

Gerakan Literasi Masyarakat Coba Jawab Masalah Buta Aksara

Mayoritas penduduk buta aksara berada di Indonesia bagian timur.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Dwi Murdaningsih
Buta huruf
Foto: Blogspot
Buta huruf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD-PM) Kemendikbud berupaya menjawab tantangan masih adanya warga Indonesia yang mengalami buta aksara. Salah satu caranya dengan menggiatkan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM).

Dirjen PAUD-PM Kemendikbud , Harris Iskandar mengakui masih adanya buta aksara di Indonesia. Mayoritas wilayah yang penduduknya banyak buta aksara berada di Indonesia bagian timur yaitu di Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Bali.

Baca Juga

"Diperkirakan angkanya sekitar 3,4 juta orang atau 2,04 persen yang masuk kriteria buta aksara. Mereka belum bisa tuliskan nama, alamat, umur," katanya saat Panggung Publik dalam rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional, Senin (29/4).

Ia menyayangkan masih adanya buta aksara meski Indonesia telah lama merdeka. Sebab menurutnya, buta aksara berkolerasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kemampuan membaca dan menulis seseorang, kata dia, diharapkan mampu mendorong memiliki pekerjaan layak.

"Banyak buta huruf dan kemiskinan itu sejalan, kami berharap budaya baca bisa membantu masyarakat meningkatkan taraf hidupnya," ujarnya.

Guna menangani buta aksara, pihaknya sudah menggagas GLM sejak beberapa tahun silam. Program GLM salah satu misinya ialah pelatihan masyarakat agar mampu membaca dan menulis. Sasarannya dari tingkat kota hingga ke pelosok Indonesia. Sedangkan misi lainnya meningkatkan budaya membaca masyarakat.

"Jadi inisiatif dari masyarakat dirikan TBM (Taman Bacaan Masyarakat), seminar, kumpulkan guru kami dukung lewat GLM. Ini berkembang hingga muncul kampung literasi, kabupaten/kota sadar membaca sebagai hasilnya," ucapnya.

Walau begitu, tantangan mengentaskan buta aksara bukan perkara mudah. Mulanya seseorang tak lagi disebut buta aksara bila sanggup membaca, menulis dan berhitung (calistung). Namun kini standarnya berubah di dunia internasional.

"Aturan sekarang di dunia berubah soal literasi enggak cukup calistung saja. Tapi menyentuh literasi digital. Jadi orang harus sudah bisa pakai perangkat digital," sebutnya.

Meski demikian, Indonesia tetap menggunakan standar lama soal buta aksara. Pihaknya berkomitmen menuntaskan angka buta aksara ini sebelum menggunakan standar baru.

"Angka 2 persen (buta aksara) itu kecil di suatu negara. Tapi kami terus berupaya memaksimalkan GLM agar tak ada lagi orang Indonesia yang tak bisa baca, habis itu baru ditingkatkan standarnya," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement