Kamis 31 Mar 2022 20:40 WIB

Dosen Fisip UI Teliti Praktik Jalan Tikus di Medsos

Internet bukan lagi utopia dan distopia tetapi ke arah heterotopia atau jalan tikus.

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Endro Yuwanto
Beragam media sosial/medsos (ilustrasi). Medsos menjadi salah satu elemen kontruksi ideologi hingga aktualisasi dari ideologi negara terutama dalam konteks masyarakat kontemporer tanpa perlu memilah generasi muda dan senior.
Foto: Alexander Shatov Unsplash
Beragam media sosial/medsos (ilustrasi). Medsos menjadi salah satu elemen kontruksi ideologi hingga aktualisasi dari ideologi negara terutama dalam konteks masyarakat kontemporer tanpa perlu memilah generasi muda dan senior.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Tren berinteraksi di era disrupsi saat ini, banyak terjadi di media sosial (medsos) dibanding media massa yang menjelaskan suatu proses cara sebuah gagasan berkembang di masyarakat kontemporer. Medsos menjadi salah satu elemen kontruksi ideologi hingga aktualisasi dari ideologi negara terutama dalam konteks masyarakat kontemporer tanpa perlu memilah generasi muda dan senior.

Pemaparan tersebut merupakan hasil riset yang dilakukan oleh peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Endah Triastuti, Ph.D.

"Pada 1980-an ketika gaung internet membuka ruang demokrasi, pemberdayaan, pembebasan, pendidikan, itu masih kencang sekali. Orang melepaskan kelas, identitas, serta judgement dan stereotipe sosial. Lalu pada 2000-an mulai masuk narasi distopia yaitu adanya disrupsi informasi berupa hoaks dan disinformasi,” ujar Endah dalam diskusi Forum Kebangsaan UI bertajuk “Penyusunan Peta Jalan Strategi Kebudayaan untuk Penguatan Nilai-Nilai Kebangsaan” yang dihadiri oleh Dekan FISIP UI Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto.

Temuan dalam penelitian Endah mengungkapkan bahwa internet bukan utopia dan distopia tetapi ke arah heterotopia atau jalan tikus. Yang dimaksud jalan tikus, kata Endah, ini sifatnya netral. Heterotopia dilakukan baik yang mengusung intoleransi ataupun sebaliknya.

"Ini yang saya garisbawahi bahwa media sosial menunjukkan praktik-praktik jalan tikus. Mereka yang satu komunitas yang sama itu justru mengintip dan meminjam jargon dari kelompok yang berseberangan. Sehingga sebenarnya kita semuanya baik yang pro dan kontra tersebut menggunakan ruangan dengan membentuk allied phenomenon," jelas Endah, yang merupakan dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (31/3/2022).

Lanjut Endah, ada beberapa tagar yang dibuat yang seolah-olah ramah terhadap nilai-nilai kebangsaan, tetapi ternyata disandingkan dengan tagar-tagar yang sebetulnya polanya berbeda tetapi semua tagar ini ada di dalam satu postingan. "Sehingga jika orang yang tidak cukup punya literasi seolah-olah tagar yang berseberangan tersebut ramah terhadap nilai-nilai kebangsaan," kata dia mengingatkan.

Kelompok-kelompok yang kontra nasionalisme, kontra tradisi lokal, serta kontra terhadap wacana kebangsaan, menurut Endah, sudah masuk hampir ke seluruh komunitas-komunitas dan lapisan sosial masyarakat, mulai kelas elite hingga kelas bawah menggunakan jalan tikus dengan berbagai cara melalui arisan, pelatihan, dan lain lain.

"Yang semuanya diproduksi menjadikan narasi kemudian menjadi wacana-wacana dimasukkan ke ruang publik melalui jalur tikus dengan memanfaatkan media sosial dengan bahasa-bahasa menarik, logika-logika yang sederhana, tetapi orang mudah menerima," ucap Endah. "Mereka mengakumulasi kapital sosial, kapital simbolik, kapital kultural yang kemudian dikonversi menjadi kapital ekonomi untuk ditawarkan kepada audience dengan memanfaatkan jalur tikus tersebut."

Endah memaparkan, untuk diterima dan meyakinkan publik terhadap sebuah pemahaman perlu mengikuti cara mereka berkomunikasi. "Kita (perguruan tinggi) selama ini selalu memaparkan hasil penelitian di jurnal yang terindeks scopus ke masyarakat itu terlalu ketinggian karena masyarakat tidak membaca jurnal atau hasil penelitian yang ditulis dari scopus. Mereka lebih membaca media sosial dan ini menarik. Perlu adanya strategi untuk meningkatkan literasi dan proses penyadaran masyarakat terhadap muatan nilai-nilai kebangsaan ini melalui media sosial," paparnya.

Sedangkan dalam pandangan Whisnutama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2019-2020, peran digital ini tidak sesederhana apa yang dilihat hari ini. Karena ada peran algoritma, rekomendasi, dan lainnya. "Contoh jika kita buka e-commerce, Youtube, Go-food, atau apapun, kita boleh punya makanan yang mempunyai rasa paling enak tapi jika mesin algoritma tidak merekomendasikannya, kira-kira apakah akan dibeli makanan tersebut? Atau punya konten paling kece sedunia, tapi jika mesin Youtube tidak merekomendasikannya apakah akan dilihat?" jelasnya.

Jadi, lanjut Whisnutama, Indonesia ini butuh kedaulatan digital. Karena pada saat ini dikuasai data, maka perilaku akan tergantung oleh platform-platform digital itu termasuk budaya itu sendiri.

"Saat ini, teknologi Artificial Intelligence sedang bangkit, untuk menjual sesuatu sebagai bagian dari marketing itu bagus untuk ekonomi digital, tetapi ketika teknologi ini sudah memengaruhi orang untuk membeli barang atau sesuatu itu juga bisa mempengaruhi budaya, sosial, politik dan bahkan ideologi," ujar Whisnutama yang juga dikenal sebagai sosok yang mumpuni di bidang industri kreatif media.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement