Senin 21 Mar 2022 19:36 WIB

Optimalkan Hasil Investasi di Tengah Dampak Konflik Rusia-Ukraina

Konflik Rusia-Ukraina tingkatkan harga komoditas dan tepat investasi jangka panjang

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kegiatan penambangan batu bara.  Konflik Rusia-Ukraina memiliki dampak global yang besar, yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung datang dari perdagangan dan investasi, sedangkan dampak tidak langsung berasal dari inflasi karena harga energi, logam dan pertanian meningkat lebih lanjut karena kejutan pasokan akibat perang.
Foto: Dok. Bat
Kegiatan penambangan batu bara. Konflik Rusia-Ukraina memiliki dampak global yang besar, yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung datang dari perdagangan dan investasi, sedangkan dampak tidak langsung berasal dari inflasi karena harga energi, logam dan pertanian meningkat lebih lanjut karena kejutan pasokan akibat perang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik Rusia-Ukraina memiliki dampak global yang besar, yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung datang dari perdagangan dan investasi, sedangkan dampak tidak langsung berasal dari inflasi karena harga energi, logam dan pertanian meningkat lebih lanjut karena kejutan pasokan akibat perang.

"Dampak langsung untuk Indonesia terbatas karena Indonesia memiliki hubungan perdagangan yang relatif rendah dengan Rusia dan Ukraina," kata Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan, dikutip Senin (21/3/2022).

Data per kuartal III tahun 2021 menunjukkan impor dari Rusia diperkirakan sekitar 0,2 persen dari total impor Indonesia. Investasi langsung dari Rusia juga rendah, sekitar 0,08 persen dari total Foreign Direct Investment ke Indonesia. Dampak tidak langsung dalam bentuk kenaikan harga komoditas lebih relevan. 

Rusia adalah produsen utama dari minyak bumi, gas, berbagai logam serta produk agrikultur. Disrupsi pasokan dari Rusia karena konflik Rusia-Ukraina mendorong kenaikan harga berbagai komoditas tersebut dan meningkatkan inflasi di berbagai kawasan.  Untuk Indonesia, inflasi masih rendah, di bulan Februari 2022 pada angka 2,06 persen.

Tahun ini inflasi akan meningkat karena kelanjutan harga-harga komoditas yang tinggi, dampak kenaikan PPN dan kemungkinan kenaikan harga berbagai produk oleh produsen yang selama ini belum menaikkan harga jual walaupun harga bahan baku dan biaya produksi meningkat.  

Selain itu, ada kemungkinan harga BBM akan meningkat jika harga minyak terus tinggi dalam waktu yang lebih panjang.  Namun secara keseluruhan inflasi masih akan terkendali, dengan pengawasan ketat dari pemerintah dan BI.

Sebagai produsen dan eksportir komoditas dalam skala besar, Produk Domestik Bruto, Transaksi Berjalan dan pendapatan pemerintah Indonesia kemungkinan besar akan diuntungkan dari kenaikan harga komoditas.

Di tengah kenaikan harga minyak sebesar 56,8 persen setahun terakhir, harga minyak kelapa sawit naik 56,0 persen dan harga bataubara naik 271,6 persen. 

Indonesia sebagai eksportir terbesar dari minyak kelapa sawit dan batubara termal (thermal coal) mendapat keuntungan dari kenaikan harga tersebut. Katarina melihat eksposur terhadap ekonomi Indonesia akan tetap positif dan mendukung investasi jangka panjang di Indonesia.

"Investasi yang terdiversifikasi pada reksa dana saham serta reksa dana obligasi dapat membantu investor mendapatkan hasil optimal, yang dapat disesuaikan dengan profil risiko serta tujuan investasi masing-masing investor," kata Katarina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement