Senin 21 Mar 2022 15:08 WIB

Petani Sawit: Solusi Kelangkaan Minyak Goreng, Turunkan B30 Jadi B20

Karena bahan baku habis disedot untuk program biodiesel.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Petani memetik tandan buah segar (TBS) sawit di Desa Pasi Kumbang, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Kamis (11/6/2020). Petani sawit menyebut, menurunkan B30 ke B20 jadi solusi kelangkaan minyak goreng tanpa mengorbankan petani sawit.
Foto: ANTARA /Syifa Yulinnas
Petani memetik tandan buah segar (TBS) sawit di Desa Pasi Kumbang, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Kamis (11/6/2020). Petani sawit menyebut, menurunkan B30 ke B20 jadi solusi kelangkaan minyak goreng tanpa mengorbankan petani sawit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai keputusan pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng telah mengorbankan petani kelapa sawit di daerah.

Seperti diketahui, pemerintah telah mencabut kebijakan harga eceran tertinggi (HET) dan kemudian memberikan subsidi kepada pelaku usaha yang memproduksi minyak curah. Namun, sumber dana untuk subsidi minyak curah tersebut bersumber dari dana sawit dengan jalan menaikkan pungutan ekspor sawit.

Baca Juga

Sebelumnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pemerintah telah manaikan pungutan dana sawit secara progresif.

Jika harga minyak sawit (CPO) makin tinggi maka pungutan makin besar. Dalam kebijakan terbaru, pungutan yang tertinggi adalah jika harga CPO berada di atas 1.500 dolar AS, maka pungutan mencapai 375 dolar AS, sementara sebelumnya maksimal 175 dolar AS.

Sekjen SPKS, Mansuetus Darto, menilai, perubahan keputusan pemerintah untuk menaikan pungutan dana sawit adalah kekeliruan pemerintah yang terus berulang. "Karena selama ini, sudah banyak petani yang bersuara akibat harga TBS (tanda buah segar) tergerus akibat pungutan dana sawit," kata Mansuetus, dalam keterangan resminya, Senin (21/2/2022).

Ia mengatakan, dinaikkannya pungutan ekspor sawit karena harga CPO itu menjadi acuan penentuan atau penghitungan harga TBS yang di lakukan oleh dinas perkebunan di Indonesia. Jika pungutan ekspor makin tinggi maka harga CPO yang menjadi acuan penentuan harga TBS petani tadi akan rendah akibatnya harga TBS juga ikut turun.  

"Dengan kenaikan pungutan ekspor sawit terbaru ini kami perkirakan pengurangan harga TBS di tingkat petani kelapa sawit sekitar Rp 600 hingga Rp 700 per kilogram," ujarnya.

Mansuetus Darto pun meminta agar pungutan dana sawit terbaru ini di batalkan. Ia mengatakan, akibat masalah kelangkaan minyak goreng, petani sawit jadi korban. Karena itu, masalah ini bisa di atasi jika program B30 dikurangi menjadi B20.

"Ini adalah solusi untuk masalah bahan baku, karena bahan baku habis disedot untuk program biodiesel. Selain itu, program peremajaan sawit harus dimudahkan, agar peningkatan produktivitas petani lebih baik," ujarnya menambahkan.

Jika diturunkan menjadi B20, maka dana sawit akan surplus. Selain bahan baku akan tersedia karena diturunkan menjadi B20, dana sawit yang surplus tadi bisa digunakan untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng.

Ia memaparkan, jika pun saat ini kebutuhan dana untuk subsidi biodiesel B30 sangat besar maka langkah yang seharunya diambil oleh pemerintah dengan menurunkan target program biodiesel yang saat ini B30 menjadi B20.

Jika diturunkan menjadi B20, maka dana sawit akan surplus. Selain bahan baku akan tersedia karena diturunkan menjadi B20, dana sawit yang surplus tadi bisa digunakan untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng.

"Menyingung dana yang tersisa di BPDPKS itu pungutan dari tahun 2015–2021 sekitar Rp 138 triliun masih ada sisa sekitar Rp 22 triliun artinya untuk kepentingan program yang berhubungan dengan petani sawit seperti program PSR masih tersedia dananya," ujarnya.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement