Ahad 13 Mar 2022 12:16 WIB

Dosen UMM Dukung Sikap Netral Pemerintah dalam Konflik Rusia dan Ukraina

Dosen HI UMM menyebut Pemerintah Indonesia sepatutnya berpihak ke kemanusiaan

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pengunjuk rasa berorasi saat menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Rusia, Jakarta, Sabtu (12/3/2022). Dalam aksinya tersebut mereka menyerukan untuk hentikan invasi di Ukraina serta mengehentikan ancaman menggunakan senjata nuklir. Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana menyatakan dukungannya terhadap sikap pemerintah Indonesia dalam memandang konflik Rusia dan Ukraina. Langkah yang diambil Indonesia untuk bersikap netral sangat tepat.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Pengunjuk rasa berorasi saat menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Rusia, Jakarta, Sabtu (12/3/2022). Dalam aksinya tersebut mereka menyerukan untuk hentikan invasi di Ukraina serta mengehentikan ancaman menggunakan senjata nuklir. Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana menyatakan dukungannya terhadap sikap pemerintah Indonesia dalam memandang konflik Rusia dan Ukraina. Langkah yang diambil Indonesia untuk bersikap netral sangat tepat.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana menyatakan dukungannya terhadap sikap pemerintah Indonesia dalam memandang konflik Rusia dan Ukraina. Langkah yang diambil Indonesia untuk bersikap netral sangat tepat. 

Pria disapa Adim ini tak menampik, ada berbagai desakan dari Ukraina untuk mengecam Rusia maupun dorongan dari Rusia agar tidak ikut campur dalam pertempuran tersebut terus berdatangan ke Indonesia.

Menurutnya, sikap yang mesti diambil oleh Indonesia saat ini adalah mengedepankan prinsip kemanusiaan. "Dibanding condong berpihak ke salah satu dari Rusia atau Ukraina," katanya.

Hal ini juga berlaku untuk masyarakat secara luas. Dalam melihat permasalahan ini, perlu memandang dari dua sisi sehingga penilaian tidak condong ke salah satu pihak saja. Terpenting, dia berharap konflik Rusia-Ukraina ini dapat segera diselesaikan oleh kedua pihak dengan jalur diplomasi, bukan melalui peperangan.

Baca juga : Kreator TikTok Dilaporkan Dibayar Rusia untuk Sebarkan Video Propaganda Putin

Pada dasarnya, kata dia, Rusia dan Ukraina mengalami berbagai konflik kecil sejak Uni Soviet pecah menjadi beberapa negara. Hal tersebut terus memanas hingga Rusia melakukan invasi pada Kamis (24/2/2022).  Dari sudut pandang Ukraina, penyerangan ini merupakan upaya agresif dari Rusia untuk menguasai Ukraina sebagai upaya menyatukan kembali daerah Uni Soviet yang dulu.

Kemudian dari sudut pandang Rusia, negara tersebut merasa terancam dengan niat Ukraina untuk bergabung ke North Atlantic Treaty Organization (NATO). Rusia menilai dengan bergabungnya Ukraina ke NATO akan memudahkan negara lain seperti Amerika dan Inggris melakukan latihan militer serta membangun pangkalan militernya di Ukraina. Padahal jarak antara Ukraina ke Moskow yang merupakan ibu kota Rusia sangat dekat.

Kepala Labolatorium HI UMM ini juga menjelaskan beberapa dampak yang timbul akibat perang Rusia dan Ukraina. Untuk dua negara yang terlibat langsung, perang ini akan merenggut banyak korban jiwa. Kerusakan infrastruktur yang parah juga akan di alami oleh Ukraina sebagai tempat terjadinya peperangan.

"Sementara untuk Rusia, perang ini akan memperlemah ekonomi negara tersebut dengan diberlakukannya berbagai sanksi ekonomi dari negara-negara lain," ungkapnya dalam keterangan pers yang diterima Republika.

Baca juga : Putin: Ada Kemajuan dalam Negosiasi Rusia-Ukraina

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement