Sabtu 12 Mar 2022 21:31 WIB

Riset: Muslim hingga Yahudi Alami Diskriminasi Kerja di Amerika Serikat

Diskriminasi Muslim hingga Yahudi Amerika Serikat di tempat kerja meningkat

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Bendera Amerika Serikat. Diskriminasi Muslim hingga Yahudi Amerika Serikat di tempat kerja meningkat
Bendera Amerika Serikat. Diskriminasi Muslim hingga Yahudi Amerika Serikat di tempat kerja meningkat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebuah penelitian baru dari Program Kehidupan Beragama dan Publik (RPLP) Rice University di Houston, Texas, Amerika Serikat (AS) mengungkapkan, bahwa dua pertiga Muslim, separuh dari Yahudi, dan lebih dari sepertiga Kristen Protestan evangelis mengalami diskriminasi di tempat kerja, meskipun dengan cara yang berbeda.  

Penemuan ini diungkapkan dalam penelitian berjudul "Bagaimana Diskriminasi Keagamaan Dipersepsikan di Tempat Kerja: Memperluas Pandangan." 

Baca Juga

"Ketika kami melakukan wawancara, kami dapat mengetahui lebih dalam tentang bagaimana orang-orang mengalami diskriminasi agama. Kami menemukan bahwa ini bukan hanya tentang perekrutan, pemecatan, dan promosi, yang biasanya dipikirkan orang," kata peneliti pascadoktoral di RPLP dan penulis utama penelitian tersebut, Rachel Schneider, dilansir di phys.org, Jumat (11/3/2022). 

Baik Muslim, Yahudi, dan Kristen masing-masing mengatakan mereka mengalami komentar negatif atau berbahaya, stereotyping dan pengucilan sosial

Namun, Muslim dan Yahudi merasa ditargetkan oleh retorika anti-Islam dan anti-Semit terkait dengan dilihat sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. 

Sementara itu, orang Kristen Evangelis merasa diasingkan ketika mengambil sikap individu berdasarkan pandangan moral mereka. 

 "Kadang-kadang mereka dipanggil 'Ms. Holy' atau 'Holy Roller,' dan banyak orang Kristen evangelis merasa seperti mereka dianggap menghakimi, berpikiran sempit dan/atau sayap kanan," kata Schneider. 

 Selain itu, rekan penulis Denise Daniels, peneliti utama studi tersebut dan Profesor Kewirausahaan di Wheaton College, Hudson T Harrison, mengatakan banyak orang Kristen yang disurvei memberikan contoh perasaan terisolasi di tempat kerja. 

 "Ini karena anggapan rekan kerja mereka tentang jenis percakapan atau acara di luar pekerjaan yang ingin mereka ikuti," katanya. 

 Ketiga kelompok ini, terutama Muslim dan Yahudi, menggambarkan perasaan tidak nyaman saat diminta untuk merayakan hari besar keagamaan atau mengenakan pakaian keagamaan di tempat kerja dan menyebutkan pengalaman negatif yang mereka alami dengan atasan dan rekan kerja.

 Muslim dan Yahudi kemungkinan besar merasa mereka perlu mengecilkan atau menyembunyikan agama mereka di tempat kerja. 

 Rekan penulis yang merupakan seorang peneliti pascadoktoral di University of Texas Health Science Center di Houston, Deidra Coleman, mengatakan penyembunyikan identitas sering digunakan oleh orang-orang yang merupakan bagian dari kelompok yang distigmatisasi. 

 "Ini adalah cara proaktif untuk 'menangani' antisipasi diskriminasi agama, tetapi dapat berdampak negatif pada kesehatan mental seseorang," kata Coleman. 

Peneliti utama Elaine Howard Ecklund, direktur RPLP dan Ketua Herbert S Autrey dalam Ilmu Sosial di Rice, mengatakan temuan ini menantang pengusaha untuk mempertimbangkan kembali bagaimana mereka berpikir tentang diskriminasi agama. 

 Dia mengatakan, memahami bagaimana menyeimbangkan kelompok dan perspektif yang berbeda sambil menunjukkan kepekaan kepada semua yang terlibat itu rumit. 

 "Saya pikir pelajaran yang baik untuk divisi sumber daya manusia adalah membuat orang merasa diterima dan nyaman di tempat kerja yang memerlukan lebih dari makanan khusus dan tempat untuk berdoa," katanya. 

Ecklund menambahkan, interaksi sehari-hari di antara rekan kerja itu sangat penting, tetapi mereka lebih sulit untuk diperbaiki tanpa pendidikan yang tepat. 

 Dia mengatakan, pelatihan di tempat kerja harus mencakup latihan yang secara khusus menargetkan semua jenis diskriminasi agama. 

 Penelitian ini merupakan bagian dari RPLP's Faith at Work: An Empiris Study, yang mencakup survei terhadap lebih dari 11 ribu orang dan wawancara mendalam dengan 200 orang lebih.   

Sumber: phys  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement