Selasa 01 Mar 2022 23:15 WIB

Kampanye Pencegahan Polio di Ukraina Terhenti Akibat Invasi Rusia

Perang dapat menjadi kendala untuk mengatasi wabah polio di Ukraina

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Imunisasi polio dan campak pada balita (Ilustrasi)
Foto: Republika/Musiron
Imunisasi polio dan campak pada balita (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KYIV -- Invasi Rusia menimbulkan kehawatiran terhadap sistem kesehatan Ukraina. Pasokan medis di Ukraina mulai menipis, dan perang dapat menjadi kendala untuk mengatasi wabah polio di negara tersebut.

Kekhawatiran krisis kesehatan masyarakat yang lebih luas semakin meningkat. Layanan kesehatan terganggu dan pasokan gagal mencapai Ukraina. Juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tarik Jasarevic pada Senin (28/2/2022) mengatakan, imunisasi rutin dan upaya pengendalian wabah polio di Ukraina telah ditangguhkan karena pertempuran tersebut.  

WHO telah menerima laporan bahwa kampanye vaksinasi Covid-19 di Ukraina juga telah ditunda. Oktober lalu, Ukraina menemukan kasus polio pertama di Eropa selama lima tahun. Kasus tersebut dialami oleh seorang balita berusia 17 bulan yang lumpuh. Sementara kasus lain yang melibatkan kelumpuhan juga ditemukan pada Januari.

Sembilan belas anak telah diidentifikasi mengalami polio tetapi tanpa gejala kelumpuhan. Pada 1 Februari, Ukraina memulai kampanye imunisasi polio nasional untuk menjangkau 100.000 anak yang masih tidak terlindungi. Tetapi kampanye tersebut telah dihentikan sejak pertempuran dimulai, dan otoritas kesehatan beralih ke perawatan darurat. WHO mengatakan, kurangnya pasokan listrik di beberapa daerah telah mempengaruhi keamanan stok vaksin.

"WHO sedang bekerja untuk segera mengembangkan rencana darurat, untuk mendukung Ukraina dan mencegah penyebaran polio lebih lanjut yang disebabkan oleh konflik," kata Jasarevic.

Selain polio, invasi Rusia juga berpengaruh terhadap pasokan obat bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Badan PBB untuk HIV/AIDS mengatakan, obat untuk pasien HIV yang tersisa di Ukraina hanya dapat mencukupi kebutuhan selama kurang dari sebulan.

"Orang yang hidup dengan HIV di Ukraina hanya memiliki beberapa minggu terapi antiretroviral yang tersisa, dan tanpa akses berkelanjutan, hidup mereka berisiko,” kata Direktur Eksekutif UNAIDS Winnie Byanyima.

Sebelum invasi Rusia dimulai pekan lalu, Ukraina memiliki 250 ribu orang yang hidup dengan HIV. Ini adalah jumlah terbesar kedua di Eropa setelah Rusia.

Ukraina juga memiliki tingkat TB yang tinggi, dan termasuk salah satu tingkat TB yang resistan terhadap berbagai obat tertinggi di dunia.  Diperkirakan ada 30 ribu kasus TB baru setiap tahun di Ukraina.

Pemerintah Ukraina dan Stop TB Partnership, yaitu sebuah prakarsa internasional pada Senin mengatakan, semua klinik TB di Ukraina masih buka. Tetapi pasien telah diberikan persediaan obat selama sebulan untuk dibawa pulang jika situasinya memburuk atau  berbahaya untuk bepergian ke klinik.

Sementara perawatan untuk pasien baru TB  diproyeksikan dapat berlangsung hingga akhir 2022. Para ahli mengatakan, gangguan dalam pengobatan atau diagnosis TB dapat meningkatkan penularan yang lebih luas serta membahayakan nyawa pasien. Perwakilan Stop TB Partnership, Viorel Soltan, memprediksi kenaikan kasus TB jika sistem kesehatan Ukraina runtuh akibat perang.

"Kemungkinan kasusnya menjadi lebih tinggi," ujar Soltan.

Selain itu, pandemi Covid-19 juga masih menjadi perhatian. Ukraina mencatat kasus harian sekitar 40 ribu pada Februari. Organisasi bantuan kemanusiaan, Project HOPE mengatakan, apotek di semua kota yang diserang Rusia melaporkan kehabisan pasokan medis.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement