Jumat 25 Feb 2022 22:13 WIB

MUI Kabupaten Bogor Minta Umat Jangan Mudah Dipecah Belah  

MUI Kabupaten Bogor menyayangkan pemilihan diksi oleh Menag

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua MUI Kabupaten Bogor, Kyai Ahmad Mukrie Aji, menyayangkan pemilihan diksi oleh Menteri Agama tetapi meminta umat tidak terprovokasi
Foto: RepublikaTV
Ketua MUI Kabupaten Bogor, Kyai Ahmad Mukrie Aji, menyayangkan pemilihan diksi oleh Menteri Agama tetapi meminta umat tidak terprovokasi

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR— Majelis ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor menyayangkan ucapan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qaumas yang menuai polemik di masyarakat. 

Ketua MUI kabupaten Bogor, KH Ahmad Mukrie Aji, menilai seharusnya Menag bisa memilik diksi yang lebih diterima masyarakat.  

Baca Juga

“Mestinya, Menag mengupamakan dengan diksi lain yang lebih bisa diterima oleh masyarakat agar tidak menuai polemik di masyarakat,” kata Mukri Aji, Jumat (25/2/2022).  

Di samping itu, menurutnya momen itu bisa dijadikan sebagai bahan untuk memecah belah umat beragama. Khususnya umat Islam. Sehingga dia pun meminta masyarakat agar tidak terprovokasi.  

 

“Kita jangan terprovokasi, banyak golongan yang ingin kita terpecah belah. Jangan mudah terpancing,” tuturnya.   

Padahal, kata dia, ada yang lebih penting yang mestinya diperhatikan terkait pelaksanaan aturan surat edaran Nomor 05 tahun 2022, tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala. 

Mukri Aji memberi catatan agar dalam pelaksanaan SE Menag ini mempertimbangkan aspek sosial dan aspek geografis wilayah setempat.   

"Harus mempertimbangkan aspek sosial, karena bagaimanapun aturan yang dibuat oleh pemerintah harus berdasarkan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kalau di wilayah setempat itu disepakati penggunaan pengeras suara masjid oleh semua elemen masyarakat, kan sah-sah saja,”  kata dia.  

Bukan hanya aspek sosial, sambung dia, aspek geografis juga harus dipertimbangkan. Misalnya pada kampung-kampung yang jarak antarrumahnya berjauhan justru memanfaatkan suara dari masjid.  

“Para petani yang di sawah juga menjadikan suara dari masjid sebagai acuan kapan dia harus istirahat dan pulang ke rumah,” imbuhnya.   

Dia melanjutkan, kasus tersebut beda jika di wilayah perkotaan yang dihuni masyarakat heterogen. Maka dari itu, menurutnya SE Menag ini bisa dijadika acuan agar masyarakat menghormati hak dan kewajiban masing-masing.  

Dia juga menyebut, peraturan pedoman penggunaan pengeras suara ini juga merupakan hasil ijtima ulama Komisi Fatwa MUI yang ketujuh pada 2021 lalu. “Insya Allah selama tujuannya untuk kebaikan bersama, tak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata dia.         

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement