Selasa 22 Feb 2022 20:01 WIB

Aprindo Minta Ombudsman Ungkap Data Penyusupan Minyak Goreng yang Valid

Aprindo siap menindaklanjuti temuan penyusupan minyak goreng dari toko ritel.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Indira Rezkisari
Warga antre untuk membeli minyak goreng curah murah di Pasar Larangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022). Kementerian Perdagangan menggelar operasi pasar minyak goreng curah seharga Rp12.800 per liter bagi konsumen dan Rp11.700 per liter bagi pedagang untuk stabilisasi harga di pasaran.
Foto: ANTARA/Umarul Faruq
Warga antre untuk membeli minyak goreng curah murah di Pasar Larangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022). Kementerian Perdagangan menggelar operasi pasar minyak goreng curah seharga Rp12.800 per liter bagi konsumen dan Rp11.700 per liter bagi pedagang untuk stabilisasi harga di pasaran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman, menyebut adanya dugaan penyusupan stok minyak goreng oleh toko ritel modern kepada pasar tradisional maupun toko ritel tradisional. Menanggapi itu, Asosiasi Pengusana Ritel Modern Indonesia (Aprindo) meminta agar Ombudsman dapat mengungkapkan praktik penyusupan tersebut secara jelas dengan data yang valid.

"Kami, para ritel anggota Aprindo berharap, apapun ungkapan dari pejabat publik perlu dengan ungkapan data agar kami pelaku usaha bisa memverifikasi dan menindaklanjutinya," kata Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, kepada Republika, Kamis (22/2/2022).

Baca Juga

Roy mengatakan, Aprindo siap untuk menindaklanjuti temuan-temuan ataupun dugaan dari lembaga pemerintah mengenai adanya oknum atau pelanggaran yang dilakukan ritel. Bila oknum tersebut memang kedapatan melakukan pelanggaran, Aprindo siap menegur perusahaan ritel yang bersangkutan dan memberikan sanksi tegas. "Tapi, sekali lagi, kalau tidak ada data lengkap dan hanya indikasi, tentu ini sulit," ujarnya.

Roy kembali mengingatkan, informasi tidak lengkap mengenai pelanggaran juga tidak memberikan edukasi bagi masyarakat dan pelaku usaha. Karena itu, Aprindo berharap agar Ombudsman memberikan data dugaan penyusupan tersebut secara jelas untuk bisa dilakukan observasi lebih mendalam.

Lebih lanjut, ia juga menekankan, tidak semua toko ritel termasuk ritel modern dan tidak semua ritel modern adalah anggota Aprindo. Toko-toko yang bersifat tradisional dan banyak ditemukan di kompleks ruko bukan merupakan Aprindo meskipun sistem penjualannya sama seperti toko ritel modern.

Adapun terkait volume purchase order (PO) minyak goreng dari distributor ke toko ritel modern, ia menyebut hingga kini telah mencapai 60 persen dari rata-rata normal bulanan sekitar 25 juta liter.

"Jadi masih belum 100 persen dan belum optimal. Itu masih diurai oleh Kemendag dan Satgas Pangan ke mana pasokan itu dan seperti apa kenyataan di lapangan," ujar dia.

Sebelumnya, Ombudsman, menyatakan, ketersediaan minyak goreng di tengah masyarakat masih langka. Ombudsman juga menyebut ada dugaan penyusupan stok di ritel modern ke ritel atau pasar tradisional serta kecenderungan pembatasan pasokan.

Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers, Selasa (22/2/2022), menyatakan, pihaknya telah melakukan pemantauan langsung di lapangan melalui perwakilan Ombudsman setiap daerah. Terkait penyusupan stok minyak goreng dari ritel modern, Yeka menyebut terjadi di Bangka Belitung, Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.

"Jadi karyawan ritel modern menjual keluar dari gudang ritel ke pedagang ritel tradisional," katanya. Selain itu, juga ditemukan agen distributor langsung menjual minyak goreng kepada pedagang ritel tradisional dan pasar tradisional dengan harga di atas HET," kata Yeka.

Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Barat, Fitry Agustine, menuturkan, Ombudsman melihat ada kecenderungan banyak pedagang pasar membeli minyak goreng bukan dari distributor, namun dari toko ritel modern. Sebab, stok minyak goreng toko ritel modern selalu tersedia dengan harga Rp 14 ribu per liter untuk kemasan premium. Setelah mendapatkan stok minyak goreng, pedagang kemudian kembali menjualnya pasar tradisional dengan harga lebih tinggi dari HET.

"Banyak pedagang di pasar, ternyata langsung membeli dari ritel modern. Kemudian dijual lagi oleh dia di pasar dengan harga tinggi," ujar Fitry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement