Ahad 13 Feb 2022 16:27 WIB

Soal Aturan Baru Jaminan Hari Tua, Ini Kata Pengamat

Sekitar 50 persen orang yang mencairkan JHT adalah mereka yang mengundurkan diri.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Muhammad Fakhruddin
Soal Aturan Baru Jaminan Hari Tua, Ini Kata Pengamat (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com.
Soal Aturan Baru Jaminan Hari Tua, Ini Kata Pengamat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Aturan baru soal pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) menjadi perbincangan publik beberapa hari terakhir. Aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari tua, mengatakan JHT baru dapat dicairkan jika pegawai yang terdaftar peserta BPJAMSOSTEK mencapai usia 56 tahun.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan sebenarnya program JHT bagus karena negara menjamin warganya yang bekerja walaupun mereka mengundurkan diri, dipecat, bekerja sampai pension, kecelakaan, atau meninggal. Namun, terkait dengan aturan baru, Tauhid menyoroti dua hal.

Baca Juga

Pertama, sekitar 50 persen orang yang mencairkan JHT adalah mereka yang mengundurkan diri. Mereka mengklaim dana JHT digunakan untuk memenuhi kebutuhannya karena sebagian besar dari mereka merupakan kelompok penghasilan menengah ke bawah.

“Kendala lain adalah uang pesangon atau kompensasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Itu yang menjadi masalah sehingga banyak buruh yang protes karena mereka butuh hari ini dan sumbernya hanya dari JHT. Meskipun sudah ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)  itu dirasakan kurang,” kata Tauhid kepada Republika.co.id, Ahad (13/2).

Di sisi lain, Tauhid menyoroti kerugiaan BPJS Ketenagakerjaan yang sangat besar senilai Rp 31 triliun sehingga untuk menutupi atau meningkatkan pendapatan termasuk mengurangi kerugian harus mempunyai modal tinggi.

“Itu cut loss Rp 31 triliun, besar sekali karena persoalan tata kelola investasinya. Sebagian besar itu berada pada investasi saham yang saat pandemi rontok,” ujarnya. Menurut dia, masalah tersebut harus diperbaiki dengan pengelolaaan BPJS yang menambal cut loss seperti secara professional dikembalikan atau paling tidak nilainya sama saat sebelum terjadi cut loss.

“Menurut saya, masalahnya di satu sisi secara substansi JHT didapatkan ketika memang sudah mendekati pensiun tetapi ada yang kurang, bagaimana kompensasi, JKP itu yang diberikan perusahaan cukup untuk kebutuhan dia. Selain itu, penting juga bertanggung jawab terhadap kehilangan pengelolaan BPJS sebesar Rp 31 triliun tetap harus dilakukan,” tambahnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement