Sabtu 05 Feb 2022 04:10 WIB

Sada Social: Facebook Semakin Gencar Blokir Konten Terkait Palestina

Konten tentang Palestina unggahan aktivis-jurnalis banyak yang diblokir Facebook.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Reiny Dwinanda
Ikon aplikasi Facebook di ponsel (Ilustrasi). Menurut Sada Social, Facebook dan Instagram telah memblokir sebanyak 1.500 postingan terkait Palestina pada 2021.
Foto: AP/Martin Meissner
Ikon aplikasi Facebook di ponsel (Ilustrasi). Menurut Sada Social, Facebook dan Instagram telah memblokir sebanyak 1.500 postingan terkait Palestina pada 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Sebuah kelompok sukarelawan Palestina yang memantau Facebook telah memperingatkan bahwa platform media sosial itu telah semakin gencar memblokir dan menekan konten soal Palestina. Konten itu berasal dari unggahan oleh jurnalis, aktivis, dan influencer Palestina.

Dalam sebuah laporan, kelompok sukarelawan Sada Social menyebutkan, Facebook telah membatasi jangkauan akun influencer Palestina ketika mereka menyoroti masalah lingkungan Shaikh Jarrah dan Jalur Gaza belum lama ini. Menurut statistik yang dikeluarkan oleh grup tersebut, Facebook telah melarang pengguna mencapai tagar "Al-Aqsa" pada tahun 2021, di mana banyak aktivis menulis tentang peristiwa yang terjadi di Palestina.

Baca Juga

"Facebook dan Instagram telah memblokir sebanyak 1.500 postingan pada 2021. Hampir 44 persen unggahan oleh jurnalis dan lembaga media autentik," kata spesialis media sosial dan direktur Sada Social, Iyad Refai, dilansir Anadolu pada Jumat (4/2/2022).

Refai mengatakan, akses ke akun yang meliput insiden di Palestina dibatasi melalui algoritme yang mengidentifikasi konten digital. Ia menyebut, kata-kata baru ditingkatkan untuk memperluas praktik pembatasan.

Facebook menangkap kata-kata seperti "untuk mendukung perjuangan Palestina" dan kata-kata lain sejenisnya lalu memblokir akun tersebut. Selain itu, praktik pembatasan telah diperluas ke nama-nama faksi, pemimpin, atau martir Palestina di samping gambar atau video apa pun yang terkait dengan ini.

"Setelah setiap pelanggaran terjadi, kami menghubungi Facebook untuk menceritakan kisah kami. Semua diskusi dengan mereka tentang pentingnya memiliki standar adopsi yang jelas dan pasti dari konsep tentang kekerasan dan kebencian karena kebijakan Facebook tidak mengikuti standar PBB tentang kekerasan dan kebencian," kata Refai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement