Ahad 30 Jan 2022 12:43 WIB

Hikmahanto: Singapura Cerdik, Jokowi Dikecoh

Perjanjian FIR dan kerjasama pertahanan akan sangat menguntungkan Singapura.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).
Foto: ANTARA FOTO/HO/Setpres/Agus Suparto/sgd/rwa.
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan PM Singapura Lee Hsien Loong di Bintan Selasa, (25/1/2022) lalu menghasilkan beberapa kesepakatan soal pengelolaan kawasan udara Kepulauan Riau dalam perjanjian Flight Information Region (FIR). Sayangnya, perjanjian FIR yang mengatur wilayah informasi penerbangan udara di kawasan Kepulauan Riau itu telah mengecoh Pemerintah Indonesia.

Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, dasar keinginan pemerintah melalui kebijakan tersebut sudah tepat, yaitu untuk mengambil alih pengelolaan FIR yang berada di atas Kepulauan Riau. Maka kebijakan ini menurut dia patut didukung.

Baca Juga

Namun, ia menyoroti, detail perjanjian FIR yang telah ditandatangani itu ternyata tidak merefleksikan kebijakan Presiden Jokowi. "Ternyata Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan perjanjian FIR sehingga para negosiator Indonesia terkecoh," kata dia ketika dikonfirmasi terkait rilis kepada media, Ahad (30/1/2022).

Menurut dia, perjanjian FIR yang seharusnya dikelola oleh Indonesia dalam ketinggian berapa pun saat perjanjian efektif berlaku. Namun, ternyata FIR yang berlaku di wilayah tertentu untuk ketinggian 0-37,000 kaki didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura.

Ia melihat, Singapura ingin tetap memiliki kewenangan pada ketinggian tersebut. Sebab bagi Singapura ketinggian tersebut sangat krusial. Hal ini karena pesawat udara mancanegara melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandar Udara Changi.

"Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia. Keselamatan harus dipastikan," katanya.

Bila FIR itu diserahkan ke Indonesia, menurut dia, akan mengancam keberadaan Bandara Changi sebagai hub internasional. Karena itu, Hikmahanto menilai ada dua kecerdikan Singapura dalam mengecoh negosiator Indonesia.

"Pertama, Singapura mengecoh dengan bermain pada isu yang sangat detail," katanya.

Bagi lawyer yang menegosiasikan sebuah perjanjian, ada peribahasa yang selalu menjadi panduan, yaitu the devil is in the details. Maksud peribahasa ini, kata dia, di mana seorang lawyer untuk menang dalam bernegosiasi harus bermain di level yang sangat detail. Bila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail akan menjadi makanan empuk.

Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. "Namun, dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola karena mendapat pendelegasian," ujarnya.

Hal tersebut diatur dalam detail perjanjian FIR terkait pendelegasian Indonesia ke otoritas penerbangan Singapura. Bahkan, pendelegasian diberikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara.

Ini berarti Pemerintah Indonesia tidak memiliki cetak biru untuk melakukan pengambilalihan mulai dari infrastruktur yang dibutuhkan hingga sumber daya manusia yang mengoperasikan.

"Kedua, kecerdikan Singapura adalah memaketkan perjanjian FIR dengan perjanjian pertahanan," ujarnya memaparkan.

Pemaketan seperti ini sangat merugikan Indonesia, ketika pada 2007 saat perjanjian ektradisi ditandemkan dengan perjanjian pertahanan. Di sini, Hikmahanto menilai, Singapura tahu untuk efektif berlakunya perjanjian FIR, selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi.

Oleh karena itu, Singapura akan mensyaratkan pada Indonesia untuk melakukan secara bersamaan pertukaran dokumen ratifikasi kedua perjanjian sekaligus. Bila hanya salah satu, Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi dan karenanya perjanjian tidak akan efektif berlaku.

"Singapura berkalkulasi perjanjian pertahanan tidak akan diratifikasi oleh DPR mengingat menjadi sumber kontroversi pada 2007 sehingga tidak pernah dilakukan ratifikasi," katanya.

Bila ini kembali menjadi kontroversi saat ini dan akhirnya tidak diratifikasi oleh DPR, Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi perjanjian FIR. Akibatnya, perjanjian FIR tidak akan berlaku efektif. Konsekuensi ikutannya adalah FIR tidak pernah beralih pengelolaannya ke Indonesia dan tetap dikelola oleh Singapura.

Namun, kalaulah perjanjian pertahanan diratifikasi oleh DPR dan dokumen ratifikasi perjanjian FIR dan pertahanan dipertukarkan sehingga kedua perjanjian ini efektif berlaku, Singapura tetap mengelola FIR di ketinggian 0-37,000 kaki atas dasar pendelegasian sebagaimana diatur dalam perjanjian FIR.

"Bahkan Singapura mendapat satu keuntungan lagi, yaitu perjanjian pertahanan yang di tahun 2007 ditentang oleh banyak pihak di Indonesia bisa efektif berlaku," ujar Hikmahanto.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement