Rabu 26 Jan 2022 17:55 WIB

Pesan Raja Pasai Soal Islam Wasathiyah

Raja Pasai dinilai menerapkan Islam Wasathiyah.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Pesan Raja Pasai Soal Islam Wasathiyah. Foto:  Ilustrasi Kerajaan Samudera Pasai.
Foto: blogspot.com
Pesan Raja Pasai Soal Islam Wasathiyah. Foto: Ilustrasi Kerajaan Samudera Pasai.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sekretaris Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M. Kholid Syeirazi, memastikan bawah Kerjaan Islam Pasai yang dipimpin Sultan Malikus Zhahir menganut mazhab Syafii Islam Wasathiyah. Bukti Kerajaan ini menganut mazhab Syafii ini bisa dilihat dari pendapatnya Ibnu Batutah.

"Nanti dari kerajaan Pasai ini berkembang menjadi kerajaan Islam di Nusantara ada kerajaan Demak, kerajaan di Ambon Ternate dan Tidore, Kerajaan Goa Tallo itu bisa diproyeksikan bahwa Islam yang dikembangkan dianut raja dan rakyatnya itu adalah Islam mazhab," kata M.Kholid saat menjadi pemateri dalam Halaqah Kebangsaan yang digelar MUI dan Badan Nasional Penanggulangan Tororisme (BNPT).

Baca Juga

Untuk memastikan pendapatnya itu, pada persentasinya, M Kholid membacakan kutipan asli dari Ibnu Batutah dalam bahasa Arab. M Kholid sengaja membaca kutipan Ibnu Batutah itu untuk meyakinkan kepada audiens, bahwa Islam Wasathiyyah di Indonesia bukan barang baru.

"Kutipan Ibnu Batutah ini penting dibacakan, karena untuk melacak genealogi wasathiyah Islam," katanya.

Menurut Ibnu Batutah bahwa Sultan Malikus Zhahir raja Islam yang mencintai para ulama dan orang-orang shaleh. Setelah diterjemaahkan, kurang lebih seperti ini pendapat Ibnu Batutah terhadap Sultan Malikul Dhahir. 

"Dia raja Muslim pencintanya para alim ulama dan mazhabnya syafii," kata M Kholid bahwa pendapat itu disampaikan pada tahun 1345 hijriyahnya sekitar abad 8 H.

Dampak dari potret Islam mazhab yang datang ke nusantara maka tradisi wasathiyyah Islam itu sangat kuat sekali. Menurutnya, bukti begitu kuatnya tradisi Wasathiyyah di Indonesia, mazhab ini sampai dipelajari di pondok-pondok pesantren seluruh Nusantara.

"Disebarkan melalui instrumen-instrumen pendidikan yang mengajarkan fiqih dalam Mazhab Syafi'i di pesantren-pesantren. itu kemungkinan abad ke-16 H itu ada sekitar seribuan pesantren yang mengajarkan fiqih dalam Mazhab Syafi'i," katanya.

Menurutnya, kenapa tradisi mazhab Islam ini sempit, karena Islam itu tidak mungkin dipahami tanpa sanad. Sumber hukum Islam yakni Alquran dan Hadist harus dipelajari melalui guru.

"Islam itu tidak mungkin dipahami loncat menuju sumber primernyanya tanpa melalui tradisi transmisi ulama," katanya.

M. Kholid mecontohkan, jika Islam itu hanya dipahami berdasarkan nash, teks dan  tidak tidak dipahami dalam konteks maka bisa menimbulkan ekstrimisme. 

"Jadi ada aqwal dan ahwal," katanya.

Untuk menjelaskan terkait aqwal dan ahwal, Kholid kembali memberikan contoh, misalnya ada hadits yang sering dibaca di kalangan kelompok pelaku amaliah (ekstrime).

"Aku diperintahkan untuk memerangi siapa saja sampai mereka itu masuk Islam."

Menurutnya, jika teks hadist ini dibaca dan dipelajari tanpa guru, maka dapat  membahayakan dirinya dan orang lain. Karena dia akan memerangi orang lain masuk Islam setelah membaca teks hadis di atas.

"Kalau misalnya hadits ini ditelan mentah-mentah tidak mempakai guru, dia akan memaksakan Islam kepada semua orang. Kalau ini dipahami tanpa sanad, tanpa ulama menceritakan ahwalnya nabi Ini berbahaya sekali. Meskipun Rasulullah menyatakan aqwalnya begini, tetapi ahwalnya tidak," katanya.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement