Rabu 26 Jan 2022 15:54 WIB

Tenaga Honorer Bakal Dihapus, Pemkot Solo Bakal Kekurangan SDM Pelayanan Dasar

Pengurangan tenaga pengajar setiap tahun terdapat seratusan orang yang pensiun.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Muhammad Fakhruddin
Tenaga Honorer Bakal Dihapus, Pemkot Solo Bakal Kekurangan SDM Pelayanan Dasar (ilustrasi).
Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Tenaga Honorer Bakal Dihapus, Pemkot Solo Bakal Kekurangan SDM Pelayanan Dasar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SOLO -- Pemerintah pusat berencana menghapus tenaga honorer di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah mulai 2023. Jika rencana itu direalisasikan, maka Pemerintah Kota (Pemkot) Solo bakal kekurangan sumber daya manusia (SDM) terutama di sektor pendidikan dan kesehatan.

Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Solo, Dwi Ariyatno, mengatakan, penghapusan tenaga honorer menjadi dilema bagi pemerintah daerah. 

Baca Juga

"Kalau kita mau bicara terkait dengan kebutuhan ideal saat ini memang dalam kondisi belum cukup. Masih ada beberapa kelompok pekerjaan yang belum bisa dikelola secara optimal karena ketersediaan SDM," kata Dwi saat dihubungi wartawan, Rabu (26/1).

Dia juga mencontohkan, pengurangan tenaga pengajar setiap tahun terdapat seratusan orang yang pensiun.

 

Dwi menyebut, total tenaga kerja dengan perjanjian kerja (TKPK) di lingkungan Pemkot Solo sekitar 4.500 orang. Jumlah itu termasuk TKPK guru yang jumlahnya mencapai 958 orang. Sedangkan TKPK tenaga medis diperkirakan jumlahnya sekitar 200-300 orang. Ribuan TKPK tersebut termasuk petugas kebersihan dan keamanan sampai tingkat kelurahan.

"Kalau layanan penunjang sifatnya subtitut bisa ditambah bisa tidak. Tapi kalau untuk layanan dasar prinsipnya kebutuhan pokok yang harus tersedia. Sampai saat ini, proses tambal sulam terkait dengan kebutuhan layanan dasar pendidikan dan kesehatan itu saja belum tercukupi. Walaupun mekanisme CPNS kemarin kami rekrut, kemudian PPPK juga dilakukan walaupun posisinya dikelola kementerian langsung," terang Dwi.

Menurutnya, Pemkot sudah berupaya mengejar pemenuhan kebutuhan SDM melalui kuota calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang disediakan pemerintah setiap tahun. Tetapi belum cukup untuk menggantikan tenaga TKPK.

"Kalau tahun depan posisinya akan dihilangkan sama sekali ya paling mungkin nanti akan ada kekurangan SDM di layanan dasar terutama. Kalau untuk penunjang di dinas itu tidak begitu signifikan, bisa ditambal dengan penataan atau mutasi. Tapi kalau yang kekurangan di aspek pendidikan, guru, tenaga medis kemudian tidak bisa dilakukan proses perekrutan mungkin akan timbul masalah," jelasnya.

Jumlah TKPK tersebut yang selama ini dibiayai melalui anggaran APBD. Untuk TKPK guru yang jumlahnya 958 orang, pengeluaran anggaran untuk gaji mereka mencapai Rp 27 miliar.

Dwi menyatakan, jika rencana penghapusan tenaga honorer direalisasikan, maka Pemkot memiliki beberapa alternatif rencana. Antara lain, melalui mekanisme alih daya atau outsorcing, terutama untuk petugas kebersihan maupun keamanan. Sedangkan untuk layanan dasar seperti tenaga medis dan pendidikan, Pemkot akan meminta kuota tambahan dari pemerintah pusat untuk penerimaan CPNS dan CPPPK supaya bisa diisi.

"Tapi mengejar jumlah 900 guru saya tidak tahu kira-kira apakah dapat. Soalnya sekali kami minta itu kan hanya dapatnya 400-500 per tahun. Itu pun dibagi rata dengan tenaga teknis lain," ungkapnya.

Meski demikian, dia menilai jika proses dilakukan secara paralel, maka pemenuhan SDM bisa dilakukan lebih cepat. Artinya, proses pengurangan TKPK secara berangsur-angsur beralih atau diganti dengan PPPK maupun PNS dalam berjalannya waktu akan terpenuhi.

"Kalau mungkin skenarionya 2-3 tahun ke depan sambil kita diberikan kuota tambahan sambil kita mengurangi jumlah TKPK berangsur-angsur mungkin ada mekanisme peralihan honorer menjadi PPPK atau PNS untuk mencukupi kebutuhan, menurut saya masih memungkinkan tapi tidak satu tahun selesai. Paling mungkin 2-3 tahun," paparnya.

Selama ini, TKPK mendapatkan kompensasi gaji sesuai upah minimum kota (UMK) ditambah jaminan sosial dan kesehatan. Meskipun, jika dibandingkan dengan rekan satu profesi, misal guru, dengan beban kerja yang sama mendapatkan gaji berbeda lantaran perbedaan status. Kompensasi tersebut sesuai dengan kemampuan anggaran pemerintah daerah.

"UMK kita kan ya cukup sih Rp 2 juta koma sekian. Tapi kalau bisa memberikan kesejahteraan lebih, saya pikir kinerjanya pasti juga akan lebih baik," imbuhnya.

Dwi berharap, kebijakan penghapusan tenaga honorer yang rencananya juga dibarengi pengalihan menjadi PNS maupun PPPK bisa menjadi kesempatan para TKPK untuk mengubah status. Sehingga kesejahteraan mereka juga lebih baik.

Namun, Dwi mengkritisi kebijakan penerimaan PPPK guru yang menggunakan nilai ambang batas atau passing grade. Dia menilai, jika lulusan sarjana artinya sudah mampu dan punya kompetensi untuk mengajar. Jika kemudian dilakukan tes dan tidak lolos passing grade, maka pemenuhan SDM tenaga pengajar tidak mencapai target.

"Kemarin karena kebijakannya dari pusat ya kami menerima saja. Jadi kuota yang sekian ratus ternyata terisinya juga tidak sampai 80 persen, jadi kesempatan kami untuk mengisi kekosongan akhirnya juga hilang," pungkas Dwi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement