Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tutut Bina S

Aku dan Rasa Bersalah

Curhat | Tuesday, 25 Jan 2022, 09:28 WIB
Sumber gambar : freepik

Maafin bunda ya nak , bunda tidak bermaksud marah sama kakak

Drama di Senin pagi tak bisa dihindari. Jam dinding hampir mendekati pukul tujuh.Gambaran kemacetan jalan tol Jakarta -Cikampek menuju Senayan menjejali kepala. Sementara, Si bungsu tak mau ditinggal pergi, anak nomor 3 sudah siap menunggu jemputan dan anak nomor 2 masih berputar-putar kebingungan mencari pecinya.

Peci yang mulai pudar warna aslinya itu adalah peci kesukaannya untuk dipakai sekolah. Meski semalam sudah disiapkan, bisa jadi karena tertutup beberapa barang ia tak menemukannya.

Singkat cerita, keluarlah omelanku. Dengan suara meninggi kukatakan bahwa terlalu sering dia tak bisa menjaga barangnya. Anakku terdiam, cemberutlah wajahnya.

Khawatir di sekolah nanti dia bad mood, aku segera minta maaf. Jujur saja aku merasa bersalah mengomelinya.

Kata "rasa bersalah" tak asing rasanya bagi ku. Meski orang yang "kusalahi" sudah memaafkan kadang perasaan itu masih menggelayuti.

Rasa bersalah tidaklah sama dengan kesalahan itu sendiri. Kesalahan adalah perilaku yang dilakukan. Sedangkan rasa bersalah adalah respon hati, reaksi pikiran dan jiwa atas kesalahan tersebut. Rasa bersalah adalah sebuah sensor lembut yang Allah SWT anugerahkan. Oleh karenanya mendayagunakan rasa bersalah tak akan jauh dengan bagaimana mengelola perasaan itu.

Kesalahan memiliki tempat tersendiri di mata agama islam, dalam hukum positif manusia, hukum sosial dan efeknya pada jiwa. Kadar rasa bersalah juga dipengaruhi kadar kesalahan.

Kesalahan terendah adalah kesalahan yang belum terejawantah, baru niat. Pada hal ini, islam memberi kemaafan. Bahkan jika urung melakukannya, akan dibalas kebaikan.

Kesalahan berikutnya adalah kesalahan yang terjadi karena tidaksengajaan. Untuk kesalahan jenis ini tidak dihukumi dosa, meskipun jika berhubungan dengan hak-hak orang lain, maka tetap ganti rugi adalah keharusan.

"Sesungguhnya Allah telah memaafkan kesalahan-kesalahan umat-Ku yang tidak disengaja, karena lupa dan yang dipaksa melakukannya" (HR. Ibnu Majah).

Ketiga, kesalahan karena tergelincir, lalai dan lengah tetapi bukan yang masuk dalam dosa besar. Kesalahan-kesalahan ini bisa dihapus dengan istighfar dan amalan-amalan tertentu. Keempat adalah kesalahan akibat tergelincir, lalai dan lengah tetapi termasuk dalam dosa besar. Yang mampu menghapusnya adalah taubat yang sungguh-subgguh, disertai sinambungnya amal kebaikan dan janji tidak akan pernah mengulanginya lagi.

Kelima adalah yang paling berat, yaitu kesalahan yang secara sadar dan sengaja dikreasi, dilakukan sungguh-sungguh bahkan menjadi candu berkelanjutan. Tak jarang pelaku kesalahan jenis ini bahkan mengaku berat meninggalkannya dan pasrah begitu saja pada hawa nafsunya. Tomat istilahnya, tobat kumat. Untuk jenis ini, wallahu alam, aku tak akan membahasnya.

Rasa bersalah untuk kesalahan nomor 1 hingga 4, pasti kadar rasa bersalahnya berbeda-beda. Pastinya, semua harus dikelola dengan baik dan proporsional. Rasa bersalah berlebihan untuk suatu kesalahan yang belum maujud bisa merusak semangat hidup. Pun juga rasa bersalah ala kadarnya, padahal dosa dilakukan besar dan berulang, bisa sangat merusak diri.

Rasa bersalah mendapat tempat tersendiri dalam islam. Seperti kata Umar bin Khatab "Hisablah diri kallian sendiri, sebelum kalian dihisab(di akhirat)". Kalimat itu mengajak kita untuk menakar kesalahan-kesalahan diri.

Bahkan, rasa bersalah yang mampu menghantarkan kita takut pada Allah dan dalam hening kita terpekur menangis karenanya, ganjarannya istimewa. "Ada dua mata yang tidak akan tersentuh api neraka. Mata yang menangis karena takut kepada Allah. Dan mata yang terjaga dalam jihad fi sabilillah (HR. At Tirmizi)".

Meski demikian kita punya batas waktu. Merenungi rasa bersalah tak mungkin dilakukan sepanjang hari. Sesudah seremoni syahdu, pikiran dan logika harus mampu menuntun pada tindakan yang benar dan terarah. "Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik " ( HR Tirmidzi).

Rantai proses tidak boleh berhenti pada merasa bersalah. Setelahnya, harus bergegas dengan minta maaf, mohon ampun pada Allah SWT lalu mengiringinya dengan amal- amal kebaikan.

Usai drama marah pada anak Senin pagi, meminta maaf dan beristighfar, kurenungi selanjutnya, sudahkah berbagai rasa bersalahku selama ini berdaya guna?

*Dari berbagai sumber

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image