Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Peredaran Bintang, Bulan, dan Matahari itu Simbol Bagi Perjalanan Kehidupan

Agama | Monday, 17 Jan 2022, 06:15 WIB

TAK dipungkiri, sampai saat ini masih banyak orang yang percaya bahwa bintang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Zodiak dengan berbagai ramalannya berdasarkan tanggal dan bulan kelahiran masih sering diburu orang.

Tulisan ini tidak akan membahas ramalan bintang tersebut yang lebih banyak sekedar tebak-tebakan yang menghasilkan serba kebetulan. Tulisan ini pun tidak akan membahas secara astronomis tentang bintang sebagai benda langit yang sering menghiasi langit pada malam hari, namun hanya akan mencoba merenungkan filosofis – analogis peredaran dan waktu terbitnya bagi kehidupan. Demikian pula terhadap peredaran bulan dan matahari.

Melangkah memasuki ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan menemukan bintang, bulan, dan matahari bukan hanya sekedar benda langit belaka, namun merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Ketiga benda langit tersebut telah Allah jadikan sebagai nama surat dalam Al-Qur’an, yakni surat nomor 53, An-Najm (bintang), surat nomor 54, Al-Qamar (bulan), dan surat nomor 91, Asy-Syams (matahari).

Jauh sebelum para ahli ilmu astronomi meyakini adanya orbit masing-masing benda langit, Al-Qur’an telah menjelaskannya bahwa masing-masing benda langit memiliki garis edarnya sendiri.

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bulan, sehingga setelah ia sampai ke tempat peredarannya yang terakhir, kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya” (Q. S. Yasin : 38 – 40).

Sampai pada saat ini para ahli telah menyepakati, matahari merupakan pusat tata surya yang masih konsisten bersinar panas dengan suhu mencapai jutaan derajat celcius dan masih konsisten bergerak pada garis edarnya. Sinarnya menyebar ke seluruh bumi secara proporsional sesuai dengan letak geografis suatu tempat di muka bumi ini.

Pada umumnya semua orang dari berbagai golongan, suku, ras, dan agama dapat merasakan hangatnya sinar matahari. Sang pusat tata surya ini tak pernah membeda-bedakan, suku, ras, dan agama dalam membagi cahaya dan kehangatannya.

Filosofi-analogis yang dapat kita jadikan pelajaran dari sang surya ini adalah dalam berbuat kebaikan dan menegakkan nilai-nilai universal kemanusiaan selayaknya kita bisa memperlakukan semua orang dengan baik.

Kehadiran kita di tengah-tengah kehidupan selayaknya selalu memberi kehangatan dan cahaya yang dapat menuntun orang untuk selalu menumbuhkan perbuatan baik. Selebihnya, kita harus tetap istikamah di garis edar perbuatan baik kita.

Sementara bulan meskipun sering kelihatan bercahaya indah, sebenarnya ia tak memiliki cahaya. Para ahli sampai saat ini masih sepakat menyatakan bahwa bulan merupakan benda langit yang tak bercahaya.

Selain itu, arah garis edar bulan berseberangan dengan arah garis edar matahari. Ketika arah gerakannya berseberangan dengan matahari, bulan baru mendapatkan pancaran cahaya dari matahari.

Peristiwa gerhana bulan atau gerhana matahari akan terjadi manakala bulan dan matahari berhadap-hadapan dalam posisi yang sejajar. Akibatnya, bumi yang selalu terang dengan cahaya kedua benda langit tersebut menjadi gelap.

Filsosofi-analogis sederhana yang dapat kita ambil dari peredaran bulan yang berseberangan dengan matahari ini adalah ketika pendapat kita bebeda atau berseberangan dengan orang lain, selayaknya kita mendapatkan cahaya kebaikan, atau setidaknya mendapatkan tambahan ilmu dari orang yang berbeda pendapat atau berseberangan dengan kita.

Jika kita berbeda pendapat atau terjadi perselisihan seraya masing-masing dari kita bertahan dengan pendapatnya masing-masing, mempertahankan sikap egoisme, tidak ada yang mau mengalah, apalagi mencari solusi, pada akhirnya akan terjadi “gerhana” dalam kehidupan. Saling bermusuhan, saling ancam, dan saling membenci merupakan gerhana kehidupan yang muncul dari sikap egois kita.

Jika yang berhadap-hadapan dan berselisih itu para pemimpin umat, maka yang akan merasakan gerhana kehidupan adalah umat yang dipimpinya. Jika yang berhadap-hadapan dan berselisih itu para pejabat, pemimpin suatu bangsa, maka yang akan merasakan gerhana kehidupan adalah rakyat yang dipimpinnya.

Dari sudut pandang akhlak, tazkiyat an nafs (pembersihan jiwa), para ulama sufi banyak belajar dari ketiga benda langit tersebut. Salah seorang ulama sufi yang menjadikan ketiga benda langit tersebut sebagai filosofis-analogis kehidupan adalah Abu Sulaiman ad-Darani.

Suatu ketika, ia memberikan nasihat kepada salah seorang muridnya, Ahmad bin Abu Al Hiwari. “Ya, Ahmad! Jadilah kamu seperti bintang yang terbit dari permulaan malam hingga fajar. Jika kamu tidak mampu seperti bintang, jadilah kamu seperti bulan yang muncul pada malam-malam tertentu. Jika masih tidak mampu seperti bulan, jadilah kamu seperti matahari yang terbit dari pagi hari sampai sore hari.”

Sang murid bertanya, “Wahai guru, bulan itu lebih terang daripada bintang, dan matahari pun lebih terang daripada bulan. Mengapa engkau membalikan urutannya?”

“Hai Ahmad, yang aku maksud dengan jadilah kamu seperti bintang yang terbit mulai dari permulaan malam hingga fajar adalah beribadahlah kepada Allah mulai dari permulaan malam sampai pagi hari. Jika kamu tidak sanggup beribadah setiap malam, jadilah seperti bulan yang muncul pada malam-malam tertentu, kemudian ia sirna. Artinya, kamu beribadah kepada Allah dengan khusyuk pada waktu-waktu tertentu saja.” Jawab sang Guru.

Sang Murid menjadi paham atas nasihat gurunya tersebut. Ia begitu seksama mendengarkan wejangan gurunya.

“Jika kamu masih tidak sanggup seperti bintang dan bulan, jadilah seperti matahari yang terbit dari pagi hari sampai sore hari. Artinya jika kamu tidak mampu beribadah pada malam hari, manfaatkanlah waktu siang untuk berbuat kebaikan laksana matahari yang menyinari dan memberi ke hangatan kepada seluruh makhluk. Sekuat tenaga berusalah untuk menjauhi maksiat kepada Allah.”

Inti dari nasihat guru sufi tersebut adalah kita harus konsisten seperti bintang, bulan, dan matahari. Ia tak keluar dari garis edarnya, tetap konsisten dengan peran yang telah Sang Pencipta berikan.

Kita pun harus berupaya konsisten pada garis edar kehidupan kita di muka bumi ini, yakni sebagai khalifah yang bertugas memakmurkan kehidupan ini sebagai bekal menuju hidup di alam tanpa batas, yakni akhirat. Sedapat mungkin kita harus menjaga gerak kehidupan kita tidak keluar dari garis edar tugas kehidupan kita sebagai makhluk termulia di muka bumi ini.

Istikamah, kontinyu dalam beribadah dan berbuat kebaikan kepada sesama makhluk Allah harus tetap kita jaga. Dengan cara seperti inilah kemakmuran, kedamaian di muka bumi akan tercapai seraya menjadikannya sebagai bekal menuju alam keabadian.

Ilustrasi : bulan (sumber gambar : wallpaperbetter.com)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image