Selasa 04 Jan 2022 14:16 WIB

Menengok Pertanian Tanaman Pangan tanpa Tanah di Burkina Faso

Hidroponik menghemat air dan tanah dan bisa menghasilkan produk yang baik.

Pekerja memetik sayur selada hasil panen sistem hidroponik.ilustrasi
Foto: ANTARA/Harviyan Perdana Putra
Pekerja memetik sayur selada hasil panen sistem hidroponik.ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertanian hidroponik semakin populer di Afrika. Metode ini menghemat air dan tanah, dan menggunakan bahan alamiah seperti sabut kelapa.

Air dan sabut kelapa. Hanya itulah yang dibutuhkan untuk memelihara kacang hijau dan tomat. Di Ouagadougou, ibu kota Burkina Faso, petani dari sejumlah negara Afrika belajar bagaimana bertani tanpa tanah.

Baca Juga

Adjaratou Sanogo mulai menggunakan hidroponik beberapa tahun lalu setelah menyadari sayur-sayuran di pasar kota-kota sagat berkurang jumlahnya dalam waktu tertentu. 

“Petani di sini sudah bekerja dengan cara tradisional sejak dahulu kala,“ kata Adjaratou Sanogo.

Namun, hasil panen menurun. Banyak petani bahkan tidak dapat cukup makanan bagi dirinya dan keluarga, apalagi menjual hasil pertaniannya. 

Para ahli khawatir, hasil pertanian di kawasan Sahel, Afrika akan berkurang 30 persen. Sebagai reaksinya, Adjaratou Sanogo mengadakan pusat pelatihan dengan sokongan internasional. Ia ingin melanjutkan pengetahuannya ke orang lain. 

Tempat kursus penuh. Kabarnya bahkan sudah menyebar ke negara tetangga Mali, Chad dan Congo, berkat penggunaan media sosial. Pengikut kursus tertarik karena punya bisnis atau karena ingin memperbanyak pengetahuan. 

"Saya ikut kursus karena saya ingin bisa menanam tanaman organik bagi saya dan keluarga, kapan saja, sepanjang waktu," cerita Evelyne Dahani, salah seorang peserta kursus. 

Dengan hidroponik, orang tidak tergantung pada musim. Orang bisa memanen sepanjang tahun.

Dengan bantuan hidroponik, orang-orang yang dilatih bisa mengembangkan sayuran dengan lebih cepat. Pelatihan spesial ongkosnya 10 Euro. Banyak dari mereka mengambil lebih banyak pelatihan, tinggal lebih lama dan membayar lebih banyak. 

“Kami memilih ikut pelatihan selama empat bulan, karena mulai dari menanam sampai panen lamanya sekitar empat bulan. Dengan demikian, mereka tahu tahapan produksi."

 

 

 

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement