Selasa 04 Jan 2022 11:02 WIB

Belajar dari Logat Betawi Bekasi Dengklok tentang Skrip Akhir Kuasa Sukarno-Soeharto

Kisah bergantinya energi kekuasaan lama dengan energi kekuasaanbaru

Sebuah pohon  'dengklok' (doyong) di depan serambi rumah berasitektur Betawai. (ilustrasi)
Foto: Ridwan Saidi
Sebuah pohon 'dengklok' (doyong) di depan serambi rumah berasitektur Betawai. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.

Posisi pohon pada foto di atas dalam bahasa Betawi Bekasi disebut déngklok. Rengas Déngklok. Dalam bahasa Betawi umum disebut doyong. Mau roboh, misalnya sudah tak mungkin lagi ditunjang walau paké rumus PT = 0%.

Machbub Djunaidi pernah Ketua PWI awal Orde Baru, menceritakan kisah BM Diah ketika Harian Merdeka yang dipimpinnya dibreidel beberapa bulan setelah diumumkan terbitnya Super Semar.

Waktu Diah ketemu Bung Karno (BK) pada sebuah pagi di serambi belakang istana. Dia ngopi, berbicang ringan, sembari makan nasi goreng. "Gué adé di situ, Wan,'' kata Machbub padaku.

"Bung, turun tanganlah, Koran Merdeka dibreidel,'' kata Diah pada Bung Karno.

Mendengar omongan Diah, Bung Karno menjawab: "Hei Diah, pulang kamun sana. Naik ke genténg rumahmu, terus kamu teriak: Merdeka dibreideeel. Merdeka dibreidel,'' tukas Bung Karno yang malah balik nyindir sikap Diah.

"Bung Karno kala itu marah, Wan,'' ujar Machbub menceritakan ekpresi Bung Karno saat itu.

"Iyé Bung Karno marah. Itu karena BM Diah mestinya paham bahwa BK udah tak berkuasa,'' sahutku kalem tanggapi cerita Mahbud..

"Kan dia saat itu masih Presiden, Wan?," sela Machbub.

"Bener. BK ibarat ular saat itu memang masih ada bisa, tapi udah gak bisa nyaték. Udah dibatek,'' jawabku lagi,

"Apa itu uler dibatek,'' tanya Mahbub.

"Apa Dibatek? Maksut lu 'tu uler lehernyé ditarik kemané, buntutnyé kemané, gitu? tanya Machbub lagi.

Saya hanya menjawab singkat: "Iye, iyé. Iye itu."

Sebenarnya gejala Bung Karno mulai powerless sudah terasa ketika ia mengundang HMI yang menjadi musuh besar PKI, datang ke Istana Bogor pada akhir Desember 1965. Kekuasaannya kempés sedikit demi sedikit. Ibarat ban becak, kekuasaan Bung Karno waktu itu memang bukan bocor, tapi péntilnya kendor.

Hal yang sama juga terjadi pada masa pergantian atau ambruknya kekuasaan Presiden Suharto. Itu terjadi setelah dia melakukan pidato penyerahan kekuasaan 21 Mei 1998 dan berdiri mendengar pidato Presiden baru BJ Habibie. Saar itu tangan kiri Pak Harto dengan kuat menggenggam lengan kanannya. Wajahnya tegang.

Begitulah proses enerji kuasa membebaskan diri dari the old space. Ini sudah terjadi masa lalu. Pada haro-hari mendatang tak tau kita persis skrip adegannya. 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement