Selasa 04 Jan 2022 06:33 WIB

Pendidikan Harus Lindungi Anak dari Kekerasan dan Penindasan

Perlindungan anak mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak.

Zulfikri Anas (Plt  kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbud) menyampaikan materi di acara diskusi tentang penyelenggaraan pendidikan berprespektif hak anak di SMAIT Raudathul Jannah, Cilegon, Banten,  Sabtu (1/1).
Foto: Dok Asosiasi Pendidik Berprespektif Hak Anak
Zulfikri Anas (Plt kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbud) menyampaikan materi di acara diskusi tentang penyelenggaraan pendidikan berprespektif hak anak di SMAIT Raudathul Jannah, Cilegon, Banten, Sabtu (1/1).

REPUBLIKA.CO.ID, CILEGON --  Mendidik pada intinya adalah pemberian perlindungan kepada setiap anak di sepanjang usia pendidikan mereka, membebaskan mereka dari berbagai bentuk tindakan kekerasan, perundungan, diskriminasi, keterbelakangan, dan ketertinggalan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Hal ini sejalan dengan  UU No 35 tahun 2014, tentang Perlindungan Anak dan terkait dengan penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana tekad Kemendikbud akan menghapus tiga  dosa pendidikan, yaitu intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.  Semua ini mengisyaratkan bahwa dalam penyelenggaraannya, dunia pendidikan tidak terbebas dari praktik-praktik yang demikian yang pada gilirannya justeru membuat dunia pendidikan mengingkari maknanya sendiri. 

Untuk itu,  perlu upaya menggelorakan semangat mendidik sekaligus melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan, penidasan, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal merupakan suatu keharusan dan masif. Demikian antara lain kesimpulan dari diskusi tentang penyelenggaraan pendidikan berprespektif hak anak, di SMAIT Raudathul Jannah, Cilegon, Banten,  Sabtu (1/1).

Diskusi  yang digelar sebagai kegiatan perdana Asosiasi Pendidik Berprespektif Hak Anak menghadirkan tiga pembicara, yaitu Elvi Hendrani (Asdep Perlindungan Anak Kondisi khusus, Deputi Perlindungan khusus Anak Kementrian PPPA),  Bekti Parstyani (ketua Asosiasi Pendidik Berprespektif Hak Anak), dan Zulfikri Anas (Plt  kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbud). 

 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ini harus secara eksplisit menjadi tujuan pendidikan nasional,”  ungkap Elvi Hendrani seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Ia menambahkan,  negara menyepakati bahwa pendidikan anak diarahkan pengembangan kepribadian bakat, mental dan, fisik anak semaksimal mungkin. “Mengambil langkah agar disiplin di sekolah dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan martabat anak dan konvensi hak anak (KHA), yaitu melalui pendekatan disiplin positif,” ujarnya.

photo
Pembicara dan peserta diskusi tentang penyelenggaraan pendidikan berprespektif hak anak, yang diadakan oleh Asosiasi Pendidik Berprespektif Hak Anak di SMAIT Raudathul Jannah, Cilegon, Banten, Sabtu (1/1).  (Foto: Dok Asosiasi Pendidik Berprespektif Hak Anak )

Sejalan dengan hal tersebut, Bekti Prastyani, menekankan bahwa  orang dewasa, orang yang lebih dulu lahir dari anak-anak, harus benar-benar memahami apa yang dibutuhkan setiap individu anak didik. Perilaku orang dewasa, terutama orang tua dapat menghasilkan emosi negatif, seperti galau, stres, depresi, pemarah, kurang motivasi/apatis, khawatir, takut, terancam, rasa dipermalukan, minder.

“Kondisi tersebut dapat terjadi karena perlakuan orang dewasa melalui tindakan penolakan (rejecting), pengabaian (ignoring), tidak menunjukkan kedekatan dengan anak, teror (terorizing),  pemarah, mengkritik secara tidak proposional, isolasi (isolating) atau melarang anaknya bersosialisasi dengan teman-temannya, merusak moral (corrupting) dengan cara mengajarkan dan mencontohkan hal-hal yang buruk terhadap anak,” ujar Bekti. 

Zulfikri Anas menegaskan bahwa “dunia pendidikan sepenuhnya milik anak-anak, untuk itu seyogianya kita yang masuk ke dunia mereka, memahami apa yang mereka butuhkan, bagaimana keunikan potensi dan kekuatan masing, dan cara belajar seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan mereka, bukan mereka yang ditarik ke dunia kita.”

Untuk itu, kata Zulfikri,  dalam dunia pendidikan, bagi seorang pendidik yang memahami anak atau yang berprespektif hak anak, pertamakali yang akan dilakukan adalah mengenal dan memahami keragaman karakteristik setiap individu anak; kedua memahami dengan pasti makna yang akan diperoleh setelah belajar sesuatu; ketiga mengondisikan satuan pendidikan dan memastikan budaya beljar benar-benar terjadi; keempat, menganalisis dan mengelola kurikulum agar dapat diadaptasi sesuai dengan  segala bentuk keragaman peserta didik.

Untuk mewujudkan layanan pendidikan berkualitas, Zulfikri menambahkan,  kurikulum seharusnya memberi ruang yang cukup untuk menyesuaikan beban belajar dengan kemampuan dan harus bersifat  felksibel. “Anak bukanlah obyek yang menjadi sasaran menjejali ilmu pengetahuan, melainkan subyek yang aktif mengelola seluruh potensi yang ada dalam diri mereka,” ujarnya.

Menurut Zulfikri, ilmu pengetahuan berperan sebagai alat (tools) dalam menguatkan karakter, membangun peradaban. “Dengan demikian, seyogyanya kehadiran kurikulum memudahkan pencapaian kompetensi siswa, dan memudahkan guru mengondisikan pembelajaran,” tuturnya.

Dalam rangka inilah, kta Zulfikri, kehadiran kurikulum prototipe menjadi salah satu alternatif untuk memulihkan krisis pembelajaran yang berlangsung bertahun-tahun dan  diperparah oleh pandemi Covid-19. Pandemi menjadi titik balik dan momentum untuk kita melakukan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pendidikan dan fokus kepada pelayanan kepada setiap anak.

“Kehadiran kurikulum prototipe sebagai pilihan bagi satuan pendidikan menguatkan optimisme kita dalam memulihkan pembelajaran mencegah learning loss  (kehilangan pembelajaran). Tujuan utamanya dalam membangun Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong,” kata Zulfikri.

Ia menjelaskan, beberapa karakteristik kurikulum prototipe, ini adalah: (1) Pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter (iman, takwa, dan akhlak mulia; gotong royong; kebinekaan global; kemandirian; nalar kritis; kreativitas). (2) Fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. (3) Fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid (teach at the right level) dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement