Ahad 02 Jan 2022 09:15 WIB

Polisi Gerebek Pabrik Produksi Sampo Palsu di Tangerang

Pemilik gudang pabrik sampo palsu sudah ditetapkan jadi tersangka .

Rep: Eva Rianti / Red: Andi Nur Aminah
Dir Reskrimsus Polda Banten Kombes Dedi Supriadi (kanan) didampingi Kabid Humas AKBP Shinto Silitonga (tengah) dan staff memperlihatkan barang bukti aneka kemasan sampo palsu saat ekspos di Mapolda Banten, di Serang, Jumat (31/12/2021). Jajaran Polda Banten berhasil mengungkap peredaran dan pembuatan sampo serta minyak rambut palsu berbagai merek yang dapat membahayakan kesehatan dan diproduksi di sebuah gudang di Tangerang dengan omset mencapai puluhan miliar rupiah.
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Dir Reskrimsus Polda Banten Kombes Dedi Supriadi (kanan) didampingi Kabid Humas AKBP Shinto Silitonga (tengah) dan staff memperlihatkan barang bukti aneka kemasan sampo palsu saat ekspos di Mapolda Banten, di Serang, Jumat (31/12/2021). Jajaran Polda Banten berhasil mengungkap peredaran dan pembuatan sampo serta minyak rambut palsu berbagai merek yang dapat membahayakan kesehatan dan diproduksi di sebuah gudang di Tangerang dengan omset mencapai puluhan miliar rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Polisi menggerebek sebuah gudang yang digunakan sebagai pabrik yang memproduksi kosmetik palsu berupa sampo berbagai merek ternama di kawasan Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang. Dalam kasus itu, satu orang yang merupakan pemilik dari gudang tersebut ditetapkan sebagai tersangka.

Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Shinto Silitonga menjelaskan, penggerebekan gudang produksi sampo palsu tersebut dilakukan pada Selasa (28/12). Penggerebekan dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat ihwal adanya temuan sampo palsu di salah satu warung di Kecamatan Mauk, kemudian dikembangkan ke gudang produksi di Kecamatan Pakuhaji.

Baca Juga

“Penyidik berhasil temukan gudang rumah produksinya, terdapat mesin produksi, bahan baku dan kemasan palsu di gudang tersebut,” ujar Shinto dalam keterangannya, dikutip Ahad (2/1).

Shinto menuturkan, dalam rangkaian upaya penggeledahan, tim penyidik menemukan berbagai merek sampo terkenal. Di antaranya Gatsby, Clear, Head and Shoulder, Dove, dan Sunsilk. “Merek ini sering ditemukan di warung dan toko kecil. Secara kasat mata sulit untuk dibedakan mana yang palsu dan asli,” terangnya.

 

Namun, Kasubdit Indag Ditreskrimsus Polda Banten Kompol Condro Sasongko mengatakan, sampo palsu yang diproduksi tersebut memiliki perbedaan yang bisa dibandingkan jika diteliti. “Rekatan antar sachet masih renggang, warna cairan lebih cerah komposisinya tidak kental, serta wanginya lebih menyengat. Bila digunakan dapat mengakibatkan iritasi kulit,” jelasnya.

Condro menyampaikan, polisi menemukan fakta bahwa pemilik gudang tersebut tidak memiliki legalitas dan perizinan berusaha, bahkan tidak memiliki kontrak kerja sama dengan perusahaan pemilik merek, yakni PT Unilever. Adapun dalam menjalankan usahanya, omzet yang diperoleh bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulannya, serta dapat menggaji karyawan dengan upah yang tinggi.

“Usaha ilegal ini berpindah-pindah, sudah tiga tahun beroperasi dengan omzet Rp 200 juta per bulan. Sehingga tidak heran bila pengelola gudang mampu menggaji karyawan dengan Rp 15 juta per bulan,” ungkapnya.

Dalam pengembangannya, Condro mengatakan bahwa produk sampo palsu tersebut telah diimpor berupa rol cetakan sachet dari China, sehingga kemasannya menjadi tampak seperti asli. Dalam pengungkapan kasus tersebut, polisi menyita jutaan sachet sampo dan gel rambut palsu serta alat produksi bahan baku seperti soda api, alkohol 96 persen, lem, pewarna makanan, serta bahan pengawet.

Polisi menetapkan pemilik gudang, yakni HL (28) sebagai tersangka tindak pidana kesehatan dan perlindungan konsumen dalam kasus tersebut. HL dijerat Pasal 197 Jo Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sebagaimana telah diubah dengan Pasal 60 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Penyidik juga menerapkan persangkaan berlapis dengan Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8  ayat (1) huruf (f) atau Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 2 Miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement