Selasa 14 Dec 2021 20:43 WIB

'Pesantren Potensial Sebarkan Konten Moderat di Medsos'

Kalangan pesantren selama ini kurang militan dalam membuat konten.

Habib Husein Jafar Al-Hadar
Foto: dokpri
Habib Husein Jafar Al-Hadar

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR --  Moderasi beragama dinilai jangan hanya dipahami tetapi harus disebarkan ke khalayak. Dengan demikian, paham-paham intoleransi tidak akan mampu menyebar ke lapisan-lapisan masyarakat Indonesia.

"Bila moderasi beragama mengakar kuat di masyarakat, dipastikan doktrin intoleransi otomatis tidak mampu meracuni persatuan dan perdamaian di Bumi Pertiwi," kata Habib Husein Ja’far Al-Hadar saat mengisi materi di hadapan peserta Muktamar Pemikiran dan Halaqah Kyai dan Nyai Muda Pesantren, di Pesantren Al-Falak, Bogor, Selasa (14/12).

Pengasuh konten populer ‘Pemuda Tersesat’ ini kemudian membuka dengan candaan perumpamaan. Para peserta yang dulu ingin orientasinya menjadi wali qutub, kini ingin menjadi wali Youtube.   

Habib Husein mengungkapkan, di dunia maya, kelompok-kelompok intoleran mendominasi untuk menyebarkan doktrin-doktrinnya. Hal ini dikarenakan propaganda di dunia maya sangat mudah, murah, dan paling efektif tapi manjur dalam mengubah sangat efektif mengubah pola pikir seseorang. 

"Kita memasuki realitas baru yang dinamakan realitas virtual. Di mana orang sudah tidak lagi membedakan mana realitas nyata dengan realitas virtual. Bahkan, secara tidak sadar, orang lebih mementingkan realitas virtual daripada realitas nyata," ujar Husein dalam halaqah yang diselenggarakan Puslitbang Binmas Agama Kemenag RI tersebut.

Ia melanjutkan, ada gagasan yang bisa para muktamirin yang notabene adalah calon penerus pemimpin pesantren. 

“Pertama, ada potensi digital, karena dalam riset menyatakan sebanyak 60 persen orang Indonesia menjadikan medsos untuk mencari rujukan ilmu agama. Fenomena inilah yang kemudian banyak pemuda mencari jati diri.” kata Husein.

Kepada para muktamirin, Husein juga memaparkan adanya satu realitas baru. Realitas baru yang muncul saat ini adalah ideologi warganet (netizen) yang masih abu-abu. Tidak memiliki konsistensi soal sosok influencer yang dijadikan panutan.   

“Saya sering di mention oleh orang yang memiliki dua sisi ideologi berbeda. Inilah salah satu problem yang belum diketahui oleh para gus dan ning!” ucap Husein.  

Husein juga menceritakan, bagaimana awalnya ia membuat konten dengan segmentasi tasawuf. Yang notabene masih sedikit, sulit mencuri perhatian khalayak, dan serba problematis.

“Ketika bicara tasawuf kepada para pemuda tersesat, mereka pusing. Juga bicara tasawuf pada kelompok ‘hijrah’, belum apa-apa sudah dituduh bid’ah. Serba problematis!” terang Husein.

Gagasan yang kedua, kata Husein, adanya potensi pesantren. Sekitar 30 ribu lebih pesantren di Indonesia mempunyai potensi menampilkan konten-konten keagamaan. Akan tetapi, kalangan pesantren (kelompok moderat) ini kurang militan dalam membuat konten.

“Kelompok moderat ini kurang militan saat membuat konten. Baru upload dua atau tiga kali, sudah berhenti. Untuk itulah kelompok moderat harus lebih giat kembali di medsos untuk kampanye moderasi beragama.” tutur Husein. 

Dalam dunia medsos, seseorang dapat membangun imajinasi dengan dua dimensi. Pertama, dimensi moderat dan kedua, dimensi ekstrimis. Sebagai contoh realitas, banyak terbitan Alquran, dengan memasukkan terjemahan-terjemahan versi kelompok ekstremis. Bahkan Alquran saja sudah bisa dibingkai dengan ideologi tertentu. 

"Kemudian juga harus memahami basic algoritma, yang saat ini popularitas lebih penting daripada otoritas. Pola pikir pemilik perusahaan media adalah pragmatis. Untuk itulah mengapa perusahaan medsos tidak memikirkan isi konten, dan lebih mementingkan konten viral," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement