Kamis 09 Dec 2021 08:24 WIB

Politik Pembubaran Ormas

Akankah politik pembubaran ormas era orde lama terulang?

Dari Kiri ke Kanan: Yunan Nasution, Prawoto Mangkusasmito, Sutan Sjahrir, Murad, Soebadio Sastrosatomo, menghadap Presiden Sukarno membahas pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia di Istana Merdeka, 24 Juli 1960. .
Foto: Perpustakaan RI
Dari Kiri ke Kanan: Yunan Nasution, Prawoto Mangkusasmito, Sutan Sjahrir, Murad, Soebadio Sastrosatomo, menghadap Presiden Sukarno membahas pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia di Istana Merdeka, 24 Juli 1960. .

IHRAM.CO.ID, Fuad Bawazier, PhD, Mantan Menteri keuangan, Pengamat Ekonomi dan Politik.

Akhir akhir ini kita sering mendengar tuntutan pembubaran organisasi tertentu baik ormas maupun parpol. Tuntutan bisa datang dari tokoh, ormas, LSM, buzzer bahkan media, dll. Beberapa ormas sudah di bubarkan pemerintah tanpa proses pengadilan. Belum ada parpol yang dibubarkan. Tetapi jika trend tuntutan pembubaran organisasi ini berlanjut, apalagi diakomodasi pemerintah, bukan tidak mungkin suatu saat akan ada parpol yang juga dibubarkan tanpa proses hukum yang benar. Kaum pendukung pembubaran organisasi biasanya menggunakan dalih dalih “karet” yang subjektif seperti pembuat onar, gaduh, intoleran, radikal, anti bhineka tunggal ika, anti Pancasila, fitnah dan pencemaran simbol negara atau nama baik dsb. Juga tanpa proses hukum di pengadilan. 

Kelompok yang tidak suka dengan kelompok lainnya, memanfaatkan zaman ini untuk mendiskreditkan dan menuntut pembubaran ormas atau organisasi saingan atau lawannya. Bila perlu dibantu buzzer dan media. Menyedihkan!  

Sebagai negara hukum yang berdemokrasi, cara cara diatas justru merusak kehidupan berdemokrasi dan penyalahgunaan kekuasaan dengan menyingkirkan hukum.

Zaman pembubaran ormas ini   mengingatkan kita pada zaman Orde Lama Presiden Soekarno. Korbannya parpol Masyumi, PSI dan partai Murba yang dibubarkan tanpa proses di pengadilan. Begitu juga dengan pembubaran ormas GPII dan BPS (Barisan Pendukung Soekarno) dll. Tokohnya dijebloskan penjara. Semuanya karena desakan PKI dan kaki tangannya kepada Presiden Soekarno. Sejarah ini sedang berulang di Orde Reformasi, dibawah Presiden Jokowi. Status negara hukum sedang di pertaruhkan. Kekuasaan politik sedang merajalela mendiktekan kemauannya, praktis di semua bidang baik hukum, politik maupun bisnis. Motifnya juga bisa macam macam termasuk korupsi. Sampai sampai UUD 1945 hampir atau nyaris diperkosa dengan gagasan presiden tiga periode. Untungnya Presiden Jokowi menolak. Syukurlah gagasan compong ini pudar, meski tetap harus diwaspadai. 

Tapi seperti kata mutiara  “absolute power tends to corrupt absolutely”, maka cepat atau lambat pembusukan ini akan meledak dan berakhir dan menelan korban. 

Akhir Orla “korbannya” adalah PKI dan konco konconya. Akhir Orba “korbannya” adalah ABRI (dwifungsi). Jika berlanjut, Orde Reformasi inipun akan berakhir dan menelan korban. Kekuasaan memang memabukkan dan bisa bikin lupa daratan, sewenang-wenang. 

Kesimpulannya, pembubaran apalagi pelarangan suatu organisasi yang sah/ berizin/ terdaftar resmi, haruslah dengan proses peradilan, bukan dengan arogansi kekuasaan. Itulah bila ingin mempertahankan negara hukum yang berdemokrasi. 

 

Jakarta, 9 Desember 2021

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement