Ahad 05 Dec 2021 19:22 WIB
Studi Kasus di Provinsi Lampung, Banten, dan Jawa Barat

Dinamika Ekstremisme Kekerasan di Indonesia

Perkembangan KEKTer dapat dilihat dari aspek pemikiran, aksi, dan organisasi

Petugas kepolisian berjaga di depan rumah terduga teroris saat penggeledahan di Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (29/3/2021).
Foto: ANTARA/Fakhri Hermansyah
Petugas kepolisian berjaga di depan rumah terduga teroris saat penggeledahan di Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (29/3/2021).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Rudy Harisyah Alam dkk  

Serangan teror yang dilakukan kelompok-kelompok ekstrem kekerasan terus menjadi ancaman bagi keamanan Indonesia. Meski tidak terlihat di permukaan, kelompok-kelompok ekstremis kekerasan itu terus melakukan konsolidasi dan persiapan untuk dapat melancarkan serangan teror pada momen yang tepat. 

Keberadaan kelompok ekstremisme kekerasan dan individu-individu yang terafiliasi dengannya terlihat masih kokoh. Hal itu dibuktikan dengan terus terjadinya penangkapan para terduga teroris di berbagai tempat di Indonesia. 

Sepanjang tahun 2020, Densus 88 Polri melakukan penangkapan terhadap 228 terduga anggota jaringan terorisme di berbagai tempat di Indonesia. Pada Januari 2021, sebanyak empat terduga teroris ditangkap di Aceh. Sementara itu, 18 terduga teroris diamankan dari tiga lokasi di Sulawesi Selatan, sedangkan 2 pelaku tewas dalam kontak senjata.

Sebagai upaya meningkatkan efektivitas pencegahan dan penanganan ekstremisme kekerasan di Indonesia, pada Januari 2021 telah ditandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Perpres tersebut menyediakan landasan bagi kolaborasi antarpemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan.

Penulis melakukan penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika gerakan ekstremisme kekerasan di Indonesia, dengan memfokuskan pada tiga ranah: pemikiran, aksi, dan organisasi. Ranah pemikiran mencakup kepustakaan yang menjadi rujukan, serta konsep dan narasi utama yang digunakan dalam menjustifikasi perjuangan kelompok. 

Ranah aksi merujuk pada modalitas aksi, yang mencakup waktu, tempat, pelaku, bentuk aksi, dan dampak kekerasan yang ditimbulkan. Adapun ranah organisasi mencakup struktur organisasi, kepemimpinan dan mekanisme pergantiannya, tokoh yang menjadi rujukan, rekrutmen dan pelatihan sumber daya manusia, pendanaan, serta wilayah operasi.

Penelitian dibatasi mengkaji dinamika ekstremisme kekerasan tersebut dalam kurun dua dasawarsa pasca rezim Orde Baru, yaitu 1999-2019. Selain itu, wilayah penelitian juga akan dibatasi pada Provinsi Lampung, Provinsi Banten, dan Provinsi Jawa Barat. 

Pertanyaan utama yang dijawab melalui penelitian adalah:

1. Kelompok-kelompok ekstremisme kekerasan apa yang ada di Lampung, Banten, dan Jawa Barat?

2. Seperti apa dinamika yang terjadi dalam aspek pemikiran, aksi, dan organisasi dari kelompok-kelompok ekstremisme kekerasan tersebut?

3. Faktor-faktor penting apa yang memengaruhi dinamika tersebut?

Pemahaman mengenai dinamika perkembangan kelompok-kelompok ekstremisme kekerasan yang diperoleh dari hasil penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberi kontribusi bagi implementasi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021, yang ditandatangani pada 7 Januari 2021. 

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi implementasi program moderasi beragama yang tengah dijalankan Kementerian Agama. Terutama berkaitan dengan program peningkatan kapasitas penyuluh agama dan tokoh agama dalam memproduksi kontra-wacana ekstremisme keagamaan, peningkatan kapasitas guru dan dosen dalam pencegahan ekstremisme kekerasan berbasis sekolah/madrasah/perguruan tinggi, serta dalam membangun sistem deteksi dan cegah dini ekstremisme kekerasan yang berbasis partisipasi dan kolaborasi unsur tokoh dan organisasi agama, pemerintah daerah, aparat keamanan, serta para pemangku kepentingan lainnya. 

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, dengan mengikuti George dan Bennett menggunakan strategi perbandingan kasus terstruktur dan terfokus. Teknik pengumpulan data melibatkan wawancara, studi dokumen, dan kajian kepustakaan. 

Sumber data primer diperoleh dari wawancara yang dilakukan terhadap para informan yang dipandang memiliki informasi yang relevan dengan penelitian ini, antara lain, (mantan) tokoh dan anggota kelompok ekstremisme kekerasan, aparat Kesbangpol Pemerintah Daerah, dan aparat Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian RI. Sumber sekunder penelitian diperoleh dari hasil kajian terhadap kepustakaan yang relevan. 

Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif dan eksplanatoris dalam kerangka penjelasan mekanisme-proses. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan dinamika pemikiran, aksi, dan organisasi KEKTer. Selanjutnya dilakukan analisis eksplanatoris terhadap mekanisme dan proses yang memengaruhi dinamika ketiga aspek tersebut, untuk menghasilkan gambaran keseluruhan tentang dinamika ekstremisme kekerasan di Indonesia.

Dari penelitian tersebut ditemukan hasil-hasil sebagai berikut; pertama, ketiga provinsi yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Lampung, Banten, dan Jawa Barat, termasuk wilayah tempat tumbuh suburnya kelompok-kelompok ekstremisme kekerasan yang mengarah pada terorisme (KEKTer). Jawa Barat memiliki kluster penyebaran yang menjangkau hampir seluruh kabupaten/kota. 

Kedua, dinamika atau perkembangan KEKTer dapat dilihat dari aspek pemikiran, aksi, dan organisasi. Dari segi pemikiran, meskipun konsep-konsep yang dijadikan doktrin kelompok relatif sama, namun perbedaan terjadi pada level radikalisasi penafsiran terhadap konsep-konsep tersebut, yang berimplikasi pada variasi ekspresinya dalam bentuk tindakan. 

Dari segi aksi, perbedaan terlihat dalam hal pemilihan bentuk aksi, target serangan, dan dampak yang diharapkan. KEKTer lama cenderung bersikap selektif, sementara JAD dan kelompok-kelompok serupa cenderung bertindak acak dengan senjata yang relatif sederhana. Dari segi organisasi KEKTer lama lebih terstukur dan hierarkis, sementara KEKTer baru lebih berupa kelompok-kelompok kecil independen yang bergerak atas keputusan pemimpin kelompok masing-masing. 

Ketiga, KEKTer yang telah ‘mapan’ cenderung menghindari aksi-aksi ilegal dalam pengumpulan dana karena memiliki sumber pembiayaan yang memadai dari usaha atau aktivitas legal. Berbeda halnya dengan JAD dan kelompok-kelompok serupa yang menjadikan aksi perampokan sebagai salah satu opsi penggalangan dana, selain melalui pengumpulan dana-dana keagamaan, seperti zakat, infak dan sedekah. 

Keempat, beberapa faktor yang memengaruhi dinamika ekstremisme kekerasan di dalam negeri antara lain: kondisi politik dan keberadaan KEKTer di tingkat global; kemajuan pesat di bidang teknologi komunikasi dan informasi; kondisi geografis, sikap abai masyarakat, dan absennya mekanisme deteksi dini dan cegah dini ekstremisme kekerasan di tingkat lingkungan. 

*Balai Litbang Agama Jakarta

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement