Sabtu 04 Dec 2021 01:24 WIB

Jumlah Orang Miskin Melonjak Menjadi 29,3 Juta pada 2022

Selama pandemi, kelas menengah mengalami kejatuhan pengeluaran terdalam.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah warga memancing di kawasan permukiman padat penduduk di bantaran Sungai Cisadane, Pancasan, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/11/2021). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan angka kemiskinan bisa turun 0,5 persen di tahun 2022 dari persentase kemiskinan saat ini yang mencapai 10,14 persen.
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Sejumlah warga memancing di kawasan permukiman padat penduduk di bantaran Sungai Cisadane, Pancasan, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/11/2021). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan angka kemiskinan bisa turun 0,5 persen di tahun 2022 dari persentase kemiskinan saat ini yang mencapai 10,14 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan dengan skenario pesimistis bahwa tingkat kemiskinan pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen, setara 29,3 juta penduduk miskin. Hal tersebut dipicu dari melemahnya anggaran perlindungan sosial yang membuat semakin banyak penduduk miskin yang tidak terlindungi secara ekonomi. 

"Ketika beban krisis membuncah dan pandemi belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, alokasi anggaran perlinsos justru semakin menurun," kata Peneliti IDEAS bidang Ekonomi Makro, Askar Muhammad dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (3/12).

Baca Juga

Askar memambahkan pada 2020 realisasi anggaran PEN Perlinsos mencapai Rp 216,6 triliun. Maka pada APBN 2021 alokasinya turun menjadi Rp 184,5 triliun, dan terkini pada RAPBN 2022 hanya direncanakan Rp 153,7 triliun. 

Menurutnya, perlindungan sosial berperan penting dalam menopang keluarga miskin yang terdampak keras oleh pandemi. Pemerintah terlihat berupaya keras memulihkan perekonomian seiring berakhirnya gelombang kedua yang berpuncak pada Juli 2021 yang lalu. 

 

"Pembukaan hampir seluruh aktivitas sosial-ekonomi, termasuk sekolah dan event olahraga, diharapkan akan kembali mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi," katanya.

Namun arah pemulihan ke depan, selain diliputi ketidakpastian tinggi, juga diyakini berpotensi tidak inklusif. Askar mengatakan pemulihan pasca pandemi akan ideal ketika semua sektor tumbuh dengan kecepatan yang sama, sehingga manfaat pertumbuhan akan dirasakan secara merata.

Dia mengungkapkan pada periode 2014-2020, pertumbuhan pengeluaran per kapita antar kelas ekonomi terlihat merata menandakan manfaat pertumbuhan yang dinikmati semua. Namun, Pola tersebut berubah drastis pada masa pandemi, Maret – September 2020.

"Beban kejatuhan ekonomi tidak ditanggung merata, lebih banyak ditanggung oleh kelas menengah," kata Askar. 

Menurutnya, selama pandemi kelas menengah mengalami kejatuhan pengeluaran per kapita paling dalam seiring kejatuhan sektor formal-modern. Pemulihan ekonomi pasca pandemi secara ironis memiliki tendensi menciptakan kesenjangan yang semakin lebar yaitu si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin.

Pola pemulihan yang umum dikenal dengan K-shape ini, terjadi karena pemulihan didominasi sektor tertentu yang hanya menguntungkan kelas atas. Dengan K-shape recovery, IDEAS memproyeksikan pertumbuhan pengeluaran per kapita ke depan akan lebih didominasi kelas menengah-atas, sedangkan kelas menengah-bawah hanya akan tumbuh moderat – rendah.

Askar menambahkan, Implikasi dari semua itu adalah penanggulangan kemiskinan pascapandemi akan berjalan lebih lambat. Lebih jauh, menurutnya pemulihan K-shape berpotensi melemahkan potensi pertumbuhan di masa depan seiring meningkatnya kesenjangan. 

"Secara umum, kelas atas memiliki rasio tabungan terhadap pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas bawah," katanya.

Ketika pendapatan kelas atas meningkat, rasio tabungan mereka ikut melonjak. Seiring kenaikan pendapatan, rasio konsumsi kelas atas justru menurun. Di sisi lain, kelas menengah-bawah semakin tergerus rasio tabungannya untuk bertahan hidup.

Sejak pandemi, terlihat pola yang konsisten, rasio tabungan kelas atas meningkat tajam dan rasio tabungan kelas bawah semakin terpuruk. Pangsa simpanan masyarakat di perbankan dengan tier nominal di atas Rp 5 miliar meningkat dari 46,2 persen pada Desember 2019 menjadi 50,7 persen pada September 2021. 

Pada saat yang sama, pangsa simpanan dengan tier nominal di bawah Rp 100 juta menurun dari 14,5 persen menjadi 13,0 persen. Secara keseluruhan, kecenderungan menabung yang semakin tinggi oleh si kaya ini akan membuat konsumsi agregat menurun sehingga melemahkan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi atau disebut paradox of thrift.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement