Kamis 25 Nov 2021 16:50 WIB

Sudah Saatnya Hidup Guru Disejahterakan

Nasib guru, khususnya guru honorer, masih jauh dari harapan.

Seorang guru melakukan aksi teatrikal saat aksi Indonesia Darurat Guru PNS di kawasan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Monpera), Kota Bandung, Kamis (25/11). Dalam aksi yang bertepatan dengan peringatan Hari Guru Nasional 2021 tersebut menuntut agar guru yang masih berstatus honorer bisa diangkat menjadi PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Hal tersebut dikarenakan Indonesia masih kekurangan 1,3 juta guru di sekolah negeri. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Seorang guru melakukan aksi teatrikal saat aksi Indonesia Darurat Guru PNS di kawasan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Monpera), Kota Bandung, Kamis (25/11). Dalam aksi yang bertepatan dengan peringatan Hari Guru Nasional 2021 tersebut menuntut agar guru yang masih berstatus honorer bisa diangkat menjadi PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Hal tersebut dikarenakan Indonesia masih kekurangan 1,3 juta guru di sekolah negeri. Foto: Republika/Abdan Syakura

Oleh : Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Nasib guru, pahlawan tanpa tanda jasa, cenderung kurang menggembirakan. Selain kesejahteraan minim, penggajiannya sering telat, masa depan keluarganya tidak menentu, guru juga tidak mendapat perlindungan hukum dan jaminan hidup yang sewajarnya.

Banyak guru merangkap sebagai tukang ojek, pedagang buah di pasar, pekerja “serabutan”, pemulung, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan profesi guru, terutama guru honorer, belum sejahtera, bahkan masih jauh di bawah upah minimum regional (UMR).

Meskipun telah ada kebijakan sertifikasi sebagai pendidik profesional dari pemerintah, nasib guru, khususnya guru honorer, masih jauh dari harapan. Karena itu, di Hari Guru Nasional (HGN), 25 November, tekad bulat dan kebijakan afirmatif untuk menyejahterakan guru penting menjadi political will para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan (stakeholder).

Selain masalah kesejahteraan, guru di era Society 5.0 dihadapkan berbagai persoalan dan tantangan yang kompleks. Program sertifikasi guru dinilai belum sukses meningkatkan profesionalitas dan kinerja mereka.

 

Tidak sedikit guru yang mengajar bukan bidang keahliannya (mismatch), karena keterbatasan jumlah guru bidang tertentu, seperti Matematika dan Bahasa Arab. Kinerja guru juga kerap dipertanyakan karena belum memenuhi standar indeks kinerja utama (IKU) yang memuaskan, belum memenuhi empat kompetensi: profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian.

Hasil riset Prof John Hattie dari University of Auckland menunjukkan pengaruh guru terhadap prestasi peserta didik ternyata bukan paling signifikan. Karena penentu tertinggi terhadap prestasi peserta didik adalah karakter peserta didik sendiri (49 persen).

Peran guru dalam menentukan prestasi mereka hanya 30 persen. Sedangkan keluarga, lembaga pendidikan, dan teman sebaya berkontribusi menyukseskan peserta didik sebesar 7 persen.

Temuan ini menunjukkan pengaruh guru terhadap peserta didik mulai tergeser oleh kecerdasan dan keterampilan peserta didik sendiri dan teknologi informasi seperti internet, media sosial, dan sebagainya. Pertanyaannya, apakah tingkat kesejahteraan guru berbanding lurus dengan kinerja dan peran guru dalam menyukseskan masa depan peserta didiknya? Jawabannya tentu tidak tunggal, karena kesuksesan seorang dipengaruhi multifaktor.

Namun dapat dipastikan guru yang sejahtera dengan kompensasi (honor, tunjangan, insentif, dan lainnya) yang memadai dipastikan lebih fokus dan “khusyuk” dalam mengembangkan profesionalitas dan karier keguruannya. Hal ini dibuktikan oleh guru-guru di luar negeri. Guru internasional di Canada digaji sebesar 9.789 dolar AS per bulan, sedangkan rerata guru biasa di sekolah Singapura memperoleh kompensasi 3,023 dolar AS per bulan atau sekitar Rp 30 juta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement