Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan

Sastra | Thursday, 25 Nov 2021, 13:40 WIB

Sudah sepuluh menit Agus duduk di kursi panjang ruang koridor yang berada tepat di samping ruang guru.

Tuk.. tuk.. tuk...

Terdengar suara sepatu Agus dihentakkan ke lantai akibat tumit kaki kanannya yang turun naik. Suasana koridor saat itu benar-benar sepi, sesekali hanya terdengar suara beberapa guru yang ngobrol di ruang guru. Sementara di sisi lain koridor itu adalah kantor urusan administrasi sekolah. Di ruang itu malah tidak terdengar sama sekali suara orang. Biasanya pegawai administrasi saat jam istirahat seperti ini pada pulang ke rumahnya untuk makan siang. Kebetulan rumah mereka kebanyakan tidak jauh dari sekolah, atau dengan kata lain mereka adalah tetangga sekolah.

Seharusnya siang ini orang tua Agus datang ke sekolah karena mendapat panggilan dari wali kelasnya. Tapi tadi pagi waktu berangkat ke sekolah ibunya sudah berpesan. “Sampaikan ke wali kelasmu, katakan ibumu ini tidak bisa datang ke sekolah, ibumu ini kerja ikut orang, kalau ibu tidak bekerja nanti dari mana dapat uang untuk makan adik-adikmu”.

Agus adalah anak tertua di keluarganya. Ayah dan ibunya sudah beberapa tahun yang lalu bercerai. Ayahnya sudah menikah lagi dengan perempuan yang berasal dari tanah Jawa. Sementara itu ibunya tetap menjanda dan bekerja sebagai asisten rumah tangga di tetangga mereka yang suami dan istrinya pegawai negeri. Dari ketiga anak orang tua Agus, semuanya ikut ibunya. Dua adiknya masih duduk di sekolah dasar, yang satu kelas enam yang lainnya lagi baru kelas satu. Agus jarang ada di rumah. Ke sekolah pun tidak setiap hari. Hari-hari nya lebih banyak dia habiskan dengan para penambang timah. Semenjak orang tuanya berpisah, Agus lebih banyak waktunya digunakan untuk mencari uang dengan cara ikut bekerja dengan bos tambang timah. Ayahnya sudah lama tidak menafkahi anak-anaknya. Terhitung hanya sekali atau dua kali memberi anak-anaknya uang untuk makan setelah dia tidak serumah lagi dengan mereka. Itu pun saat awal-awal ayahnya baru berpisah, setelah itu tidak pernah sama sekali. Jangankan memberi makan, menengok anak-anaknya pun sudah tidak pernah lagi. Sibuk dengan keluarganya yang baru.

Sebenarnya ini bukan panggilan pertama kepada orang tua Agus untuk menemui wali kelasnya. Ini adalah pemanggilan yang ketiga. Dua panggilan terdahulu tidak sekalipun orang tua Agus datang menemui wali kelasnya di sekolah. Ini terjadi tidak lain karena ulah Agus sendiri. Tugas yang seharusnya sudah selesai dikerjakannya, tetapi sampai sekarang tak satupun yang dikerjakannya. Padahal tugas itu sendiri sudah diberikan oleh wali kelasnya dua bulan yang lalu. Jadi cukup banyak waktu untuk mengerjakannya. Memang bukan hanya Agus saja yang berulah, ada beberapa orang teman sekelasnya juga melakukan hal yang sama. Hanya saja setelah panggilan kedua, sebagian besar anak-anak itu sudah mengerjakannya. Meskipun sampai sekarang ini belum benar-benar tuntas.

Kemarin sebelum surat pemanggilan orang tuanya untuk yang ketiga kalinya, Agus dan Bu Wulan wali kelasnya sempat bersitegang. Lagi-lagi karena ulah Agus sendiri yang kurang sopan terhadap gurunya. Setelah pelajaran terakhir usai, Bu Wulan memanggil Agus untuk menanyakan perihal tugas yang tidak kunjung dikerjakannya.

“Gus, mengapa sampai sekarang kamu tidak mengerjakan tugas itu?”, tanya Bu Wulan.

“Malas ”, jawab Agus dengan enteng.

“Malas....?”, nada bicara Bu Wulan jadi meninggi. “Terus maunya apa?”.

“Nggak ada”, jawab Agus tanpa memandang ke arah Bu Wulan.

“Kamu ya . Memang sudah luar biasa sulit diaturnya. Kamu pikir dengan tidak mengerjakan tugas itu terus kamu akan aman-aman saja?”.

“Menurut saya tugas itu nggak ada manfaatnya”, kata Agus dengan santainya.

“Bisa bisa nya kamu berpikir seperti itu.... “. Dengan perasaan kesal Bu Wulan meninggalkan Agus di depan ruang kelasnya.

Siang ini suasana sekolah sudah sepi, siswa yang masuk giliran pagi sudah pulang, tadi tepat jam sebelas. Sementara untuk giliran siang baru akan dimulai jam setengah satu nanti. Jadi ada istirahat kurang lebih satu setengah jam bagi guru-guru sebelum memulai pelajaran untuk giliran siang. Pertemuan tatap muka terbatas selama pandemi ini memang melelahkan bagi para guru di sekolah ini. Bayangkan saja, jika hari itu seorang guru ada jadwal mengajar enam jam di tiga kelas berbeda, maka dia harus mendatangi tiga kelas pada giliran masuk pagi dan tiga kelas yang sama pada giliran masuk siangnya. Sementara jarak dari ruang guru ke kelas lumayan jauh. Ruang kelas yang paling jauh dari kantor jaraknya tidak kurang dari tujuh puluh lima meter. Jadi sering kali kalau sudah pulang ke rumah, tidak ada kegiatan yang dilakukan guru tersebut, selain rebahan sambil menunggu waktu salat Maghrib.

Agus tadi sudah ditemui kembali oleh wali kelasnya, dan sekarang diminta menghadap ke Pak Wahyu selaku wakil kepala sekolah. Agus dipesankan oleh Bu Wulan untuk tidak boleh pulang sampai bertemu langsung dengan Pak Wahyu. Karena Pak Wahyu ingin menyampaikan hal yang penting, begitu yang disampaikan Bu Wulan ke Agus. Sudah menjadi kebiasaan, kalau ada permasalahan yang tidak teratasi oleh guru maupun wali kelas, sebelum naik ke kepala sekolah terlebih dahulu ditangani oleh wakil kepala sekolah. Kebetulan siang itu pak Wahyu sedang ada urusan ke kantor cabang Dinas Pendidikan, dan baru akan ke sekolah menjelang salat Dzuhur.

Sementara dari masjid yang paling dekat dengan sekolah sudah terdengar dari pengeras suaranya selawat tarhim. Pertanda kurang lebih tujuh menit lagi akan dikumandangkan adzan Dzuhur. Tidak lama berselang, terdengar suara mobil masuk ke halaman sekolah, dan itu adalah Pak Wahyu. Turun dari mobil langsung beliau menemui Agus.

“Udah lama kamu nunggu Gus?”, tanya Pak Wahyu.

“Belum pak ”, jawab Agus.

“Ayo kita wudu dulu, nanti setelah salat baru kita bicara di ruangan bapak”, ucap Pak Wahyu sambil memegang pundak Agus.

“Baik pak ”, jawab Agus singkat.

Lalu keduanya menuju musala yang letaknya berada tepat di samping ruang guru. Dan mereka wudu menyusul beberapa orang guru yang sudah wudu terlebih dahulu. Adzan Dzuhur siang itu dikumandangkan oleh Mas Noto. Memang biasanya Mas Noto lah yang diberi tugas merawat dan sekaligus menjadi muadzin di musala sekolah ini. Tentu saja tugas ini adalah tugas tambahan selain tugas utamanya sebagai petugas kebersihan di sekolah. Setelah adzan dan salat sunnah, barulah para guru dan termasuk Agus salat Dzuhur berjamaah dengan imamnya adalah Pak Wahyu sendiri.

Setelah selesai salat Dzuhur, guru-guru kembali ke ruang guru, bersiap-siap untuk masuk kelas giliran siang. Sementara itu beberapa siswa sudah mulai berdatangan ke sekolah. Kebanyakan dari mereka menggunakan kendaraan sendiri. Maklumlah di daerah ini belum ada kendaraan umum, jangankan untuk anak sekolah, untuk masyarakat umum seperti angkot atau ojek motor di tempat lain belum ada di tempat tinggal mereka. Jadi mau tidak mau orang tua harus menyediakan sepeda atau sepeda motor untuk anaknya berangkat sekolah.

Di ruangan wakil kepala sekolah, Agus sudah duduk di depan meja kerja Pak Wahyu. Sementara itu Pak Wahyu masih menandatangani beberapa berkas administrasi. Setelah selesai, barulah beliau menghadapkan kursinya ke arah Agus.

“Bapak sudah dapat laporan dari Bu Wulan. Sekarang bapak ingin mendengar langsung dari Agus. Mengapa sampai sekarang kamu belum mengerjakan tugas itu?”, tanya Pak Wahyu.

“Saya nggak ada waktu pak untuk mengerjakan tugas itu”, jawab Agus.

“Jadi waktumu kau gunakan untuk apa?”.

“Saya kerja pak, cari uang buat makan ”.

“Cari uang ya Hmmm”, terdengar Pak Wahyu menghela nafasnya. “Tapi bapak dengar dari Bu Wulan kamu menjawabnya tidak seperti itu. Kata Bu Wulan kamu bilang kalau kamu malas mengerjakan tugas. Benar begitu?”, tanya Pak Wahyu.

“Ee . benar sih pak ”, jawab Agus.

“Jadi yang benar yang mana, kamu malas atau kamu nggak ada waktu karena kerja untuk cari uang? Atau kedua-duanya?”.

“Kedua-dua nya pak .”.

“Terus, kata Bu Wulan lagi, kamu pernah bilang ke beliau kalau mengerjakan tugas itu tidak ada manfaatnya. Benar begitu Gus?”.

“Benar pak ”, jawab Agus enteng.

Mendengar jawaban Agus ini Pak Wahyu diam sejenak, pandangannya dialihkan ke jendela yang ada di ruangan itu. Sejurus terlihat beliau berpikir untuk menyelesaikan permasalahan ini.

“Begini Gus... Bapak memang sudah mendengar bahwa semenjak orang tuamu berpisah, kamu bekerja ikut orang untuk menambang timah. Memang itu berat buat anak seumur dirimu. Sementara waktu kamu juga harus sekolah. Kamu harus pandai membagi waktu kapan kamu belajar dan kapan kamu bekerja. Bapak tidak melarang kamu ikut bekerja, karena bapak tau penghasilan ibumu bekerja sebagai pembantu di rumah tetanggamu memanglah tidak akan cukup untuk menghidupi kalian berempat. Sementara itu ayahmu bapak dengar tidak pernah lagi memberikan nafkahnya buat kalian anak-anaknya. Tetapi tugas utama kamu sekarang ini adalah belajar di sekolah. Jadi bapak harap kamu lebih mementingkan sekolah daripada bekerja. Bekerja bisa kamu lakukan saat hari Sabtu dan Minggu saja. Jadi hari-hari yang lainya kamu gunakan untuk belajar, termasuk mengerjakan tugas yang dibebankan kepadamu”, jelas Pak Wahyu.

“Tapi pak Kalau hanya kerja dua hari, hasil yang didapat nggak cukup pak ”.

“Untuk itu kamu tidak usah khawatir, nanti bapak akan bicara dengan bapak kepala sekolah bagaimana cara menanggulanginya. Bapak maunya sekolah membantu kamu dengan menggunakan dana infak yang tiap hari Jumat digalang oleh teman-teman mu yang tergabung dalam ekstrakurikuler kerohanian Islam. Jadi kamu tidak harus bekerja tiap hari”, terang Pak Wahyu.

“Tapi saya malu pak... Harus menerima sedekah dari orang lain”, kata Agus pula.

“Tidak perlu malu, yang penting kamu tidak meminta-minta. Ini memang kewajiban sekolah untuk membantu siswanya yang kurang mampu dan mengalami permasalahan seperti kamu sekarang ini. Tapi bapak belum tau alasan kamu mengapa kamu bilang ke Bu Wulan kalau mengerjakan tugas itu tidak ada gunanya. Dengar ya Gus Sekolah sudah membuat program bahwa anak kelas dua belas diwajibkan mengerjakan tugas berupa penyelesaian soal-soal literasi dan numerasi sebagai syarat untuk mengikuti penilaian semester. Dan itu sudah diketahui dan disetujui kepala cabang dinas pendidikan kabupaten kita. Sekarang bapak mau bertanya, tadi kita salat Dzuhur berjamaah di musala. Menurut kamu itu ada manfaatnya tidak?”, tanya Pak Wahyu.

“Ya tentu ada pak ”, jawab Agus.

“Dari mana kamu tau?”.

“Menurut pelajaran agama yang saya terima selama ini, bahwa kewajiban salat itu akan ditanyakan nanti di akhirat. Orang yang salatnya baik maka amalan lainya akan diterima, orang yang salatnya rusak maka amalan lainya akan ditolak, begitu pak kata pak ustadz”.

“Nah itu kamu tahu..., analoginya mirip dengan salat itulah kewajiban kamu untuk melaksanakan tugas dari sekolah. Memang sekarang ini belum terlihat manfaatnya. Akan tetapi manfaat itu baru terasa nanti. Dalam jangka pendek manfaat kamu mengerjakan tugas dengan benar maka kamu akan dapat ikut penilaian akhir semester, kalau tidak ikut ulangan kamu tidak akan dapat nilai, kalau tidak ada nilai maka kamu tidak dapat dinyatakan lulus dari sekolah ini. Kamu mau tahun pelajaran ini tidak lulus?”, tanya Pak Wahyu.

“Ya nggak mau pak ”, jawab Agus.

“Maka dari itu kamu harus mengerjakan tugas yang sudah ditetapkan menjadi syarat untuk ikut ulangan semester itu nanti”.

“Baiklah pak kalau begitu...”, kata Agus dengan wajah tertunduk.

“Nah sekarang kamu temani bapak makan di kantin sekolah, kita makan sama-sama, biar bapak yang traktir kamu. Setelah itu kamu mengerjakan tugasnya di ruangan bapak ini. Bapak ingin memastikan bahwa tugas itu sudah mulai kamu cicil pengerjaannya. Dan besok pun sama seperti itu, setelah selesai jam pelajaran sekolah kamu jangan langsung pulang, kerjakan tugasmu di ruangan bapak ini. Kamu paham Agus?”, tanya pak Wahyu.

“Paham pak”.

Tidak lama kemudian terdengar bunyi bel tanda masuk untuk siswa yang mendapat giliran sekolah siang hari. Suasana di dekat kantor pun sudah ramai. Banyak siswa yang bergegas menuju ruangan kelasnya masing-masing. Sementara itu terlihat Agus dan Pak Wahyu berjalan menuju kantin sekolah mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image