Senin 15 Nov 2021 09:24 WIB

Diktator Terakhir Eropa yang Buat Barat Frustrasi

Lukashenko dinilai buka perbatasan untuk migran sebagai balasan sanksi Eropa.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
 Presiden Belarusia Alexander Lukashenko.
Foto: AP/Nikolay Petrov/BelTA Pool
Presiden Belarusia Alexander Lukashenko.

REPUBLIKA.CO.ID,  MOSCOW -- Presiden Belarusia Alexander Lukashenko telah menjabat posisi tertinggi selama 27 tahun. Ia merupakan pemimpin yang secara lantang menantang Barat.

Pada Mei lalu, Pemerintah Lukashenko secara paksa mengalihkan sebuah pesawat yang terbang di antara Yunani dan Lithuania untuk menangkap lawan politiknya. Ketika Uni Eropa (UE) memberlakukan sanksi atas tindakan itu, Belarus merespons dengan melonggarkan pengawasan perbatasannya untuk para migran dari Timur Tengah dan Afrika. Kondisi itu memungkinkan para migran berbondong-bondong menuju perbatasan UE.

Baca Juga

Peristiwa itu telah memaksa Polandia, Latvia, dan Lithuania untuk mengumumkan keadaan darurat di zona perbatasan guna menghentikan penyeberangan ilegal. Warsawa telah mengirim ribuan polisi antihuru-hara dan pasukan untuk meningkatkan keamanan yang menyebabkan konfrontasi.

Tak hanya itu, tekanan Eropa dibalas Lukashenko dengan mengancam akan memotong pengiriman gas alam dari Rusia yang transit di Belarus. Ancaman ini menjadi pukulan berat yang berpotensi berdampak ke Eropa saat musim dingin.

Langkah tersebut merupakan eskalasi dramatis sosok yang menjadi presiden pada 1994. Penghinaannya terhadap norma-norma demokrasi dan catatan hak asasi manusia yang buruk di negara itu telah membuat Belarus menjadi paria di Barat, memberinya julukan diktator terakhir Eropa.

Demonstran ditangkapi

Lukashenko yang berusia 67 tahun lebih suka disebut sebagai "Batka" atau "Ayah". Meskipun dia sesekali melakukan langkah menuju pemulihan hubungan dengan Barat, Lukashenko meninggalkan rekonsiliasi setelah demonstrasi besar-besaran menentangnya pada 2020 setelah pemilihan untuk masa jabatan keenam sebagai presiden. Pihak oposisi dan banyak pihak di Barat menolak hasil tersebut sebagai kecurangan.

Puluhan ribu pengunjuk rasa ditangkap, banyak dari mereka dipukuli oleh polisi dengan tokoh-tokoh oposisi utama melarikan diri dari negara itu atau dipenjarakan. Wartawan asing diusir dan warga biasa dilaporkan ditangkap karena pertemuan massal yang tidak sah, termasuk pesta ulang tahun.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement