Selasa 09 Nov 2021 08:55 WIB

Permendikbudristek PPKS Perlu Direvisi Terbatas

Jangan sampai persetujuan seksual dikembalikan kepada masing-masing individu.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ilham Tirta
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda.
Foto: Dok Pri
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda menyebut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 harus dilihat dari perspektif korban kekerasan seksual yang membutuhkan perlindungan hukum. Meski begitu, dia menilai aturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi itu tetap membutuhkan revisi terbatas.

“Lahirnya Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS di kampus harus dilihat dari bagian upaya untuk mencegah lebih banyaknya korban kekerasan seksual. Harus diakui jika saat ini banyak sekali korban kekerasan seksual di lingkungan kampus yang membutuhkan perlindungan hukum,” ujar Huda dalam keterangannya, Selasa (9/11).

Huda mengungkapkan, Permendikbudristek 30 Tahun 2021 selain berisikan definisi kekerasan seksual yang memicu banyak polemik, juga ada aturan pencegahan kekerasan seksual. Kemudian, penanganan wajib kekerasan seksual di kampus dari mulai pendampingan, perlindungan, hingga konseling. Lalu ada juga aturan tentang sanksi bagi pelaku kekerasan seksual.

“Untuk pencegahan kekerasan seksual misalnya dalam Permendikbudristek 30/2021 cukup detail diatur pembatasan pertemuan civitas akademika secara individu di luar area kampus maupun di luar jam operasional kampus. Bahkan, jika ada pertemuan tersebut harus ada izin dari pejabat kampus dalam hal ini ketua jurusan atau ketua program studi,” kata dia.

Baca juga:

Huda menyebutkan, tren kekerasan seksual di kampus-kampus di tanah air terus menunjukkan peningkatan. Ironisnya, kata dia, kekerasan seksual tersebut tidak hanya terjadi di antara mahasiswa, tetapi juga kerap dilakukan oleh oknum dosen maupun karyawan kampus.

Berdasarkan data kekerasan kampus yang dia kumpulkan, terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota. Menurut dia, kasus itu sebetulnya bisa jadi jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan akibat korban merasa malu atau karena faktor lain.

"Sedangkan secara umum korban kekerasan seksual berdasarkan catatan dari Komnas Perempuan dari tahun 2017-2019, kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 17.940 yang artinya terdapat 16 korban mengalami kekerasan seksual setiap harinya,” ujar Huda.

Tingginya angka kekerasan seksual tersebut harus disikapi secara tegas. Dia mengatakan, lahirnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 harus diletakkan dari prespektif tersebut. Dia menilai, persepsi aturan itu merupakan alat untuk melegalkan seks bebas terlalu berlebihan.

"Kami menilai persepsi Permendikbudristek 30/2021 sebagai alat untuk melegalkan free sex terlalu berlebihan. Harusnya semua pihak menyepakati, kekerasan seksual perlu disikapi secara tegas dan Permendikbudristek 30/2021 merupakan salah satu bentuk penyikapan,” kata dia.

Huda mengakui adanya definisi kekerasan seksual dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 bisa memicu multitafsir. Menurut dia, definisi kekerasan seksual dalam aturan tersebut harus lebih dipertegas. Norma konsesual yang menjadi faktor dominan untuk menilai terjadi atau tidaknya kekerasan seksual harus ditegaskan dalam kekuatan mengikat.

Baca juga : Kemenkumham Tindak Tegas Petugas Lapas Yogyakarta Siksa Napi

“Persetujuan dua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual harus ditautkan dalam aturan resmi baik secara norma hukum negara maupun agama sehingga kekuatan hukum yang mengikat," kata dia.

Dia menambahkan, jangan sampai persetujuan yang dimaksud itu dikembalikan kepada masing-masing individu. Sebab, bisa jadi saat menyatakan konsesual hal itu tidak benar-benar menjadi konsesus.

Politisi PKB ini pun mendesak agar Mendikbudristek, Nadiem Makarim melakukan revisi terbatas sebagian substansi dari Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, khusunya kluster definisi kekerasan seksual. Mendikbudristek, kata dia, bisa mengundang pakar hukum atau agama untuk merumuskan norma konsesual agar mempunyai kekuatan yang lebih mengikat bagi siapa saja civitas akademika yang ingin melakukan hubungan seksual.

“Tidak ada salahnya Mas Nadiem merevisi terbatas Permendikbud ini secara cepat untuk lebih menegaskan norma konsensual agar mempunyai kekuatan yang lebih mengikat, sehingga siapa saja yang hendak melakukan hubungan seksual bisa dicegah," kata dia.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam menyebut pembuatan Permendikbudristek tersebut telah melibatkan berbagai pihak. Salah satu yang diundang dalam penyusunannya adalah organisasi keagamaan.

"Penyusunan Permen tersebut sudah melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk ormas dan organisasi-organisasi keagamaan. Tentu tidak semua ormas terakomodasi dalam penyusunannya," kata dia dalam pesan yang diterima Republika.co.id, Selasa (9/11).

Ia menegaskan, tujuan dibuatnya Permendikbudristek tersebut sangat jelas, yakni mencegah dan mengatasi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Dengan demikian, pasal-pasal yang diatur dalam aturan itu seputar hal tersebut.

Diketahui, beragam komentar bermunculan setelah diumumkannya Permendikbudristek yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi itu. Salah satunya menyoroti frasa "tanpa persetujuan korban", yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.

Konteksnya Kekerasan Seksual

Nizam menjelaskan, frasa itu dimuat dalam konteks definisi kekerasan seksual. Di sisi lain, untuk pembentukan akhlak mulia serta nilai-nilai luhur sebagai tujuan utama pendidikan sudah secara eksplisit diatur.

"Pembentukan akhlak mulia serta nilai-nilai luhur sebagai tujuan utama pendidikan sudah secara eksplisit diatur mulai dari UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, hingga Permendikbud Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (Permendikbud No 3/2020). Jadi mohon jangan dicampur adukkan atau diplintir," lanjutnya.

Ke depannya, ia menyebut, Kemendikbudristek akan melakukan sosialisasi, bersama dengan berbagai pemangku kepentingan. Sosialisasi ini dilakukan kepada masyarakat kampus khususnya, agar warga kampus betul-betul aman dan terlindungi dari pelaku kekerasan seksual.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement